Selasa, 14 Mei 2013


PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Suatu Tinjauan Religionum Terhadap Pernikahan  Beda Agama (Kristen-Islam) dan Relevansinya bagi Toleransi dan kerukunan umat beragama (Kristen- Islam)
I.                   Pengantar Seminar
Pernikahan adalah suatu tahap dalam kehidupan umat manusia yang melibatkan dua insan yakni antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan dilakukan untuk membangun suatu hubungan yang lebih erat dalam mengarungi kehidupan bahtera rumah tangga. Pernikahan merupakan dasar kekeluargaan membuka pintu bagi generasi baru. Secara biologis, manusia tidak dapat berkembang tanpa adanya pernikahan karena pernikahan menyebabkan adanya keturunan keluarga, kerabaat dan masyarakat.
Dalam perniakahan yang pertama di taman Eden, Allah mempunyai peranan dalam pernikahan, yakni Allah menyediakan pasangan hidup, mempersatukan dan memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej 1:28) dan Allah menyatakan dasar pernikahan tersebut dengan menyatakan ”Oleh karena itu seorang laki-laki meninggalkan orangtuanya dan bersatu dengan isterinya menjadi satu daging” (Kej. 2:24).[1] Dengan demikian, manusia diciptakan sebagai makhluk yang bertanggung jawab, sebagai gambar dan rupa Allah. Manusia mempunyai hubungan yang penuh tanggung jawab dengan Tuhan, dengan sesamanya,dengan diri sendiri dan lingkungan.[2] Sebagaimana disebut dalam Kejadian 1:28; “Allah memberkati mereka lalu berfirmanlah Allah kepada mereka: Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkusalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Dalam pandangan iman Kristen salah satu cara agar dapat tetap memelihara bumi seturut dengan firman-Nya yakni “berkembang dan beranak cuculah” diimani dengan melakukan pernikahan.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat di antara pasangan tersebut. Suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting. Sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung  pada ketentuan agama. Hal ini berarti bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh atau boleh. Dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama. Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri dan ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial di antara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya. Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat bahwa ada banyak terdapat perkawinan berbeda agama, maka berangkat dari permasalahan tersebut penyeminar mengkaji, memaparkan menurut seminar ilmu agama-agama, agama Kristen, Islam,[3](walaupun agama lain di luar Islam dan Kristen juga terdapat kasus yang sama, namun kedua agama inilah yang paling mendapat perhatian publik luas) dan hukum Positif  Indonesia.[4]
II.        Pembahasan
2. 1  Pengertian Pernikahan Secara Umum
            Pernikahan adalah kata berimbuhan yang berasal dari kata dasar kawin. Dalam bahasa Inggris disebut dengan kata marrydan kata marriage. Dan dalam bahasa Belanda disebut trouven dan hoewelijik, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkawianan diartikan sebagai perjodohan antar laki-laki dan perempuan untuk menjadi pasangan suami isteri[5]. Menurut Martiman, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)[6]. Dengan kata lain, dapat disimpulakan bahwa perkawinan adalah penyatuan dua pribadi dalam satu ikatan batin yaitu ikatan suami isteri, hubungan yang menyebabkan laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan kewajiban dalam satu keluarga.
2. 2 Pernikahan Beda Agama (Campur) dalam Alkitab
2. 2. 1 Pernikahan Dalam Perjanjian Lama
Menurut PerjanjianLamaistilah perkawinan  ditinjau dari bahasa Ibraninya adalah laqakh (Kej. 19:14; Bil. 12:1) yang artinya menerima baik, menyetujui, mengambil, membawa pergi (dengan emas) sang isteri atau suami. Dan kata “yada” untuk “pengantin” (Yer.2:2) yang artinya mengenal sedalam-dalamnya.[7] Jika mencermati kisah-kisah perkawinan dalam Perjanjian Lama, maka terdapat penolakan, atau dengan kata lain, kata TIDAK atas frase kawin beda agama. (Lihat kisah Ulangan. 7:1-11; Keluaran. 34:12-16; Maleakhi. 2:10-15; Ezra. 2:59-62; Nehemia. 7:61-64; 13:23-29.). Penolakan tersebut dilatarbelakangi pemahaman bahwa tatkala perkawinan beda agama dilakukan maka umat Yahweh yang secara kuantitas jumlahnya jauh lebih kecil daripada umat/bangsa lain yang berbeda agama akan terancam luntur.
Atas dasar kekuatiran lenyapnya Yahwehisme, demi alasan mengamankan identitas, serta konservasi jumlah penganut iman yang sedikit, maka munculah pelarangan dan penolakan terhadap kawin beda agama/beda suku. Umat Yahweh hanya boleh kawin dengan sesama umat Yahweh, tidak boleh kawin dengan goyim/yang bukan umat Yahweh.[8]
Namun, tak dapat dipungkiri pula bahwa kenyataan dari perjumpaan dengan peradaban dan suku bangsa lain yang beragama, menjadikan kawin beda agama sebagai realitas yang tak terhindarkan, bahkan “tokoh-tokoh besar” Israel pun mengalaminya, seperti diperlihatkan dalam:
  • Kej. 38 :1-2 (Yehuda kawin dengan Syua,wanita Kanaan)
  • Kej. 46: 10 (Simeon kawin dengan wanita Kanaan)
  • Kej. 41:45 (Yusuf kawin dengan Asnat, anak Potifera, imam di On-Mesir)
  • Kej. 26:34 (Esau dengan Yudit, anak Beeri orang Het)
  • Bil. 12:1 (Musa – sang pemimpin Israel – kawin dengan seorang perempuan Kusy)
Bahkan dalam konteks tertentu malah diizinkan. Sebagaimana terdapat dalam Ulangan 21:10-14, yang merupakan rangkaian dari perikop yang berbicara mengenai hukum perang yang ditetapkan bagi orang Israel (lihat Ul. 20 – 21:14). Alkitab mengungkapkan bahwa pada bagian ini dengan gamblang diatur apabila Israel menang perang, menawan musuh dan di antaranya ada para perempuan yang menarik, maka perempuan itu harus diperlakukan secara manusiawi, dihormati hak-haknya. Lalu “sesudah itu bolehlah engkau menghampiri dia dan menjadi suaminya, sehingga ia menjadi isterimu.” Dalam konteks ini perkawinan dengan perempuan non-Israel/yang beragama lain diizinkan supaya umat tidak terjatuh pada dosa kejahatan perang, dalam hal perlakuan biadab terhadap para perempuan tawanan perang.
Dalam Ezra 9:1-5 juga kita dapat melihat perkawinan beda keyakinan itu tidak boleh dilkukan karena merusak kekudusan bangsa Israel. Kekudusan yang diberikan Allah ini merupakan pemisahan dari bangsa-bangsa kafir itu merupakan perusak kekudusan yang telah Allah berikan bagi bangsa Israel. Allah melarang bangsa Israel kawin dengan bangsa-bangsa asing karena ada kemungkinan bangsa Israel tergoda kepada kebiasaan-kebiasaan bangsa asing tersebut akan tetapi perkawinan campur tersebut yang pada akhirnya mereka dapat meninggalkan Allah. Walaupun Allah telah mengatakan tetapi perkawinan campur tetap ada di bangsa Israel, mereka kawin dengan bangsa-bangsa lain.[9]

2. 2. 2 Pernikahan Dalam Perjanjian Baru
Istilah pernikahan dalam bahasa Yunani disebut dengan “gamos” artinya “pernikahan” dan juga “Perjamuan Kudus”. Dalam kedua bahasa tersebut (Ibrani-Yunani), tidak begitu jauh perbedaan yang dapat diterjemahkan antara pengertian pernikahan dalam Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Orientasi pernikahan dalam Perjanjian Baru lebih banyak pada penciptaan keluarga yang harmonis yang didasari oleh cinta kasih yang setia antara seorang suami dan seorang isteri (Ef. 5:22-25).[10] Dalam kaitan ini maka hal monogami menjadi suatu penegasan dalam membangun sebuah pernikahan. Hal ini menegaskan bahwa dengan melakukan poligami maka seseorang tidak akan dapat menunjukkan kasih setianya kepada pasangan hidupnya dalam pernikahan. Kekudusan Pernikahan dalam Perjanjian Baru sangat dihargai dan dijaga oleh kedua belah pihak, artinya untuk menjaga kekudusan dalam pernikahan itu maka harus mampu menjauhkan diri dari perzinahan (Mat. 19:9). Prinsip yang mendasar dalam Perjanjian Baru sebagaimana yang dikatakan dalam Matius 19:10-11, bahwa lebih baik seseorang itu tidak menikah jika dalam pernikahanya hanya untuk melakukan dosa.[11]
Dalam PerjanjianBaru mencatat penggunaan teks 2 Korintus 6:14 yang berbunyi “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” Yang merupakan teks pelarangan melakukan perkawinan dengan orang yang berbeda agama.[12]Tujuannya jelas, yakni agar orang-orang Kristen/petobat baru, benar-benar menerapkan kekudusan dalam hidupnya dan tidak lagi terjatuh dalam kehidupan cemar yang masih menjadi gaya hidup pasangannya.[13]
2. 3 Pernikahan MenurutAgama Kristen Protestan
            Perkawinan adalah sebagai ikatan janji yang eksklusif dan heteroseksual antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, ditahbiskan dan dikukuhkan oleh Allah dan didahului oleh kepergian meninggalkan orangtua dengan sepengetahuan orang banyak, mencapai kegenapan yang sepenuhnya dan persetubuhan menjadi pasangan yang permanen, saling menopang dan biasanya dimahkotai dengan penganugerahan anak-anak[14]. Manusia makhluk Ciptaan Allah membutuhkan hubungan antar sesama karena manusia tidak dapat hidup sendiri. Keberadaan manusia yang seperti ini merupakan kehendak Allah karena Allah yang menetukan yang terbaik kepada umat-Nya. Untuk mewujudkan kehendak-Nya bagi umat manusia, Allah menciptakan manusia tidak hanya sendiri melainkan sepasang dengan tujuan supaya manusia yang diciptakan tersebut dapat saling menolong dan melengkapi (bnd. Kej. 2:18). Allah menyatukan kedua manusia itu dan penyatuan itu merupakan upacara perkawinan. Upacara perkawinan yang pertama dan suatu perkawinan masa kini adalah “perjanjian” yang ditetapkan oleh Allah, yang artinya dalam Alkitab adalah suatu persetujuan hikmad serius yang dibuat oleh raja atau penguasa terhadap bawahannya dan bawahannya harus mengikuti segala peraturan dan perjanjian tersebut. Ketika bawahan mengikuti peraturan dan perjanjian itu maka ia akan diberkati, namun sebaliknya ketika ia tidak mengikuti peraturan dan perjanjian tersebut maka ia akan mendapat kutuk. Allah yang Raja atau Penguasa memberi peraturan, tugas dan tanggung jawab kepada manusia dan manusia harus melaksanakan peraturan, tugas dan tanggung jawab tersebut.
            Bagi umat Kristiani perkawinan adalah persekutuan hidup antara laki-laki dan perempuan atas dasar ikatan cinta kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahtraan keluarga[15]. Akan tetapi, perkawinan bukanlah hanya sekedar penyatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan tetapi lebih mengarah ke pelaksanaan amanat dari Tuhan yang dapat diemban bersama-sama di dalam sebuah rumah tangga yang utuh dan harmonis. Perkawinan mengacu kepada perjanjian-perjanjian secara emosional yang mengikat laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama menjalani kehidupan dan membuat keduanya menjadi berharga satu sama lain[16]. Perkawinan juga merupakan sebuah karunia yang harus diterima dengan hikmad dan di pelihara dengan kasih. Suami isteri menjadi  satu dan saling melayani. Luther mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan suami-isteri diciptakan saling melengkapi menjadi satu daging dan saling melayani serta saling menghormati dalam rangkamenjalani kehidupan dengan jalan satu  pikiran dan satu hati. Hasil dari perkawinan adalah anak-anak yang dilahirkan dari cinta kasih[17]. Puncak persekutuan orang percaya dengan Kristus dilambangkan dengan perkawinan, sebab perkawinan merupakan persekutuan yang paling erat, paling mulia, paling kudus.
Pria dan wanita yang saling memilih untuk menjadi teman hidup sebagai suami isteri tentulah dilandasi rasa saling mencintai.Rasa tertarik kepada seseorang, mencintainya, kemudian memilikinya menjadi pasangan hidup yang merupakan suatu anugerah yang diberikan secara bebas.Penulis Kitab Kidung Agung melihat betapa luhurnya cinta, sehingga baginya tidak kamus cinta matre “Sekalipun orang memberikan segala harta dan rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina”. (Kid.8:7b). Tanpa dilandasi cinta, perkawinan tidak mungkin berdiri kokoh.[18]
Menurut peraturan perkawinan dari banyak gereja di Indonesia nikah adalah sebuah penetapan atau peratutran Allah. Hal itu didasarkan oleh kesaksian Alkitab (Bnd. Kej.2:24; Mat.19:3). Di situ dikatakan, Bahwa Allah menghendaki supaya pria dan wanita yang Ia ciptakan menurut gambar-Nya hidup sebagai suami dan isteri. Nikah mempunyai aspek kembar. Pada satu pihak ia adalah satu hubungan (antara suami dan isteri). Yang diatur, disahkan atas penetapan/peraturan Allah.Hubungan yang akhir ini menurut iman Kristen lebih dahulu daripada peraturan dan pengesahan yuridisnya.[19]
Dengan persekutuan bebas keduanya tidak dapat ditarik kembali, keluarga Kristen sebagai kenyataan yang kelihatan, adalah tempat anggota-anggotanya dapat menjumpai Allah serta memperoleh berkat dari rahmat keselamatan Yesus Kristus.Pemberkatan nikah yang dilakukan oleh gereja membuat pasangan suami  tidak hanya mendapat kelimpahan rahmat yang mereka butuhkan untuk menghidupi, tetapi sekaligus mendapat status baru, yakni sebagai suami/isteri dan, sebagai ayah dan ibu.[20]


2. 3. 1 Landasan Teologis Kristen (Perkawinan Beda Agama)
 1 Kor. 7: 12-14 (ayt 12) dikatakan kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia
(Ayt 13)dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah dia, menceraikan laki-laki itu
(Ayt 14) karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus
Tafsiran
·         Alasan pertama bagaimana dengan pernikahan di mana salah satu pihak adalah Kristen?. Kembali peraturanya adalah, tidak bisa cerai (1 Kor. 7-12-13)
·         Alasan yang kedua adalah karena suami atau isteri yang tidak percaya dan anak-anak dari pernikahan campuran itu dikuduskan. Ini tidak berarti bahwa seorang anak yang lahir dalam keluarga dimana hanya salah satu orang-tua saja yang percaya dilahirkan “menjadi anggota keluarga Kristus”. Dan Paulus bermaksud mengatakan bahwa prinsip Perjanjian Lama mengenai pemindahan kenajisan tidak berlaku (Hag. 2:11-12).[21]
2. 4. Pernikahan Dalam Agama Islam
Pernikahan berasal dari kata  “nikah” artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan suatu ikatan lahir antara 2 orang yaitu laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunanya yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam.[22]
Dan dalam pandangan Islam pernikahan adalah suatu yang sangat sakral.Mulia karena tali pernikahan salah satu yang membedakan antara manusia dan binatang dalam pergaulan. Sakral karena pernikahan tidak semata-mata masalah dunia tetapi menikah merupakan ibadah kepada Allah , mengikuti Sunnah Rasullah yang mempunyai nilai tinggi. Karena itu pernikahan penting dilaksanakan atas dasar keiklasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan hukum-huku yang berlaku.[23]
2. 4. 1 Dasar Pernikahan
            Pada dasarnya pernikahan itu dianjurkan oleh Syarat dalam surat an-Nisa ayat 3 “maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, dan empat tetapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan itu hendaklah satu saja”.[24]
            Pada dasarnya system pernikahan dalam Islam adalah monogami.Dan poligami diperbolehkan hanya pada keadaan tertentu, bagaikan pintu darurat dan persyaratanya sangta berat. Alquran menunjukkan kehendak Allah akan pernikahan yang monogam dengan mengingatkan umat Islam pada pernikahan suami-istri pertama sebagai teladan.[25]
Dalam ayat Alquran ditemukan pesan moral Alqura  n, yang menyimpulkan bahwa pernikahan dalam Islam dibangun atas lima prinsip:
1.      Kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan
2.      Prinsip mawaddah warama (cinta dan kasih sayang)
3.      Saling melindungi dan saling melengkapi
4.      Prinsip mu’asyarah bil ma’ruf  (pergaulan yang sopan)
5.      Prinsip monogamy. [26]


2. 4. 2 Tujuan Pernikahan
Tujuan dan dasar pernikahan dalam Islam adalah untuk mengembang biakkan keturunan manusia secara sah.[27] Para ulama dalam buku Cakramenggilingan 2007, menyebutkan beberapa tujuan perniakahan sebagai berikut:
1.      Untuk memeliahara jenis manusia, sebagaimana yang tertulis dalam QS. An-Nahl: 72
2.      Untuk memelihara dan melanjutkan keturunan
3.      Membentengi dari setan dari godaan hawa nafsu seks
4.      Menjaga perempuan yang lemah sebab perempuan apabila sudah kawin maka nafkahnya menjadi wajib atas tangungan suaminya
5.      Untuk menjalin kerjasama antara suami dan isteri dalam mendidik anak-anak.[28]
2. 5.Pernikahan(Beda Agama) Menurut Islam dan Undang-Undang Pernikahan
2. 5. 1 Pernikahan Beda Agama Menurut Agama Islam
Berdasarkan hukum Islam, perkawinan yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah yang didasarkan pada suatu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari keduanya, supaya hidup suami-isteri tentram lahir bathin. Berdasarkan deskripsi ini maka  terwujud keyakinan yang teguh untuk mengajarkan satu agama, Islam. Islam dengan tegas melarangseorang  Islam kawin dengan seorang  non Muslim, baik musyrik maupun ahlulkitab. Bentuk perkawinan beda agama mutlak diharamkan[29]
Banyak kasus murtad dan pemurtadan antara lain melalui beda agama. Akan tetapi sering sekali perubahan atau perpindahan agama yang dilakukan menjelang perkawinan antara dua orang calon pasangan suami- yang memiliki agama yang berbeda adalah dinilai hanya sebagai syarat formal, namun penghayatan sebenarnya kosong.[30]
Di antara halangan nikah adalah bila salah satu pihak (suami) atau termasuk orang musyrik.[31]Jika yang musyrik itu masuk Islam, maka perkawinan tersebut boleh diteruskan, jika sebaliknya, berarti dilarang Allah secara tegas, dan tertulis dalam surah al-Baqarah ayat 22.[32]
Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang perkawinan antar umat beragama berdasarkan keputusan No.05/ kep/ Munas II/ MUI/1990. Fatwa tersebut berisi: Perkawinan beda agama haram hukumnya[33]
Pertama, para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram.Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim.Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab memang terdapat perbedaan pendapat."Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram," ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu.Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis sebagai dasar hukum.
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu..." (QS: al-Baqarah:221).[34]
Selain itu, MUI juga menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta at Tahrim ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan asas adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah dalam bagian yang lain."
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989.Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim," ungkap ulama Muhammadiyah dalam.
 Namun saat ini bagi kalangan Islam moderat perkawinan beda agama masih diperdebatkan dan mereka juga menganggap bahwa perkawinan beda agama “dibolehkan” berdasarkan penafsiriran yang berbeda dari kalangan mayoritas yang menolak perkawinan beda agama. Di sinilah yang menjadi letak perbedaan wacana mereka[35]
2. 5. 2. Pandangan Tokoh-tokoh Islam
·         Ulil Abshar Abdalla selaku koordinator JIL mengatakan bahwa larangan pernikahan beda agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya Al-Qur’an juga tidak pernah secara tegas melarang itu, karena Al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non Islam harus diamendemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran ke manusiaan.
·         Nurcholis Madjid bersama para tim penulis buku Fiqih Lintas Agama yang merupakan orang-orang yang berpandangan liberal tak ubah memandang bahwa, ditengah rentannya hubungan agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih sayang kita rajut kerukunan dan kedamaian.[36]


2. 5.3  Contoh Kasus Pernikahan beda agama
Pada tahun 1986 Lydia Kandou menikah dengan aktorJamal Mirdad.Peristiwa ini menjadi begitu kontroversial, karena perbedaan agama.Lydia Kandou yang beragama Kristen dan Jamal Mirdad yang beragama Islam. Perbedaan agama di antara keduanya tidak menghentikan langkah keduanya menuju mahligai pernikahan, walaupun UU Perkawinan 1974 pasal 2 ayat 1 menghalangi mereka untuk bersatu secara sah. Undang-undang tersebut menyatakan : "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.
Agama dan orangtua bukan masalah satu-satunya yang dihadapi pasangan Lydia Kandou dan Jamal Mirdad ini. Masalah bedabudaya juga merupakan masalah yang harus dihadapi keduanya. Lydia yang berdarah Manado-Belanda dan Jamal yang berdarah Jawa membuat mereka harus melakukan penyesuaian diri terhadap karakter dan latar belakang budaya masing-masing.Namun dengan prinsip perbedaan adalah pelajaran buat mereka yang dianggap berharga dan istimewa dan dengan kesabaran dan menghormati perbedaan, pasangan ini dapat melaluinya dengan baik sampai saat ini.[37]
2. 5. 4Implikasi UU Perkawinan No 1/1974 Terhadap Kawin Beda Agama
Ketika Indonesia Merdeka pada tahun 1945, muncul semangat untuk secara mandiri mengatur landasan bagi kehidupan bersama di bumi Indonesia, yang didasari oleh Pancasila.Kemudian dalam prosesnya diajukan dan dibahaslah rancangan undang-undang (RUU) perkawinan yang berdasarkan Pancasila, bersifat nasional, berlaku bagi seluruh warga negara serta menjamin kepastian hukum.
Semula pasal 2 ayat 1 RUU Perkawinan berbunyi:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat
perkawinan, dicatat dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini
.
Namun menurut Albert Hasibuan, pembahasan RUU tersebut mendapat reaksi dan protes keras dari golongan yang menghendaki berlakunya hukum agama di dalam peraturan perundangan perkawinan. Reaksi keras tidak hanya menyangkut sahnya perkawinan, tetapi juga tentang asas monogami, perceraian, perwalian, termasuk juga pasal (11) ayat (2) RUU yang memuat ketentuan yang memungkinkan kawin beda agama.[38]
Maka ketika Undang Undang Perkawinan disahkan, muncullah ketentuan yang bersifat kompromistis. Albert mengungkapkan, UU Perkawinan no 1/1974 dikatakan kompromistis karena memberlakukan hukum agama menjadi hukum positif, sebagai hukum negara: pada akhirnya Pasal 2 ayat 1 UU no 1/1974 berbunyi:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Jadi yang semula di dalam draft RUU, sahnya perkawinan adalah jika dilakukan di hadapan Negara, kini sahnya perkawinan adalah ketika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dan tentang kawin beda agama dalam RUU pasal 11 ayat 2 menjadi dihilangkan (di-drop). Namun tetap timbul kesimpangsiuran dalam menafsirkan pelaksanaannya. Terutama berkaitan dengan kawin beda agama yang sama sekali tidak diatur. Maka jelas terdapat kekosongan hukum. Dengan demikian dapat dipahami jika alasan “ketiadaan aturan” kerapkali digunakan sebagai justifikasi/dasar pembenar dari pihak Catatan Sipil, lembaga agama, bahkan Gereja, juna menolak mereka yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama.
Jika dicermati di dalam ketentuan peralihan pasal 66 UU No.1/1974, terdapat pernyataan yang berbunyi:
“untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken S.1898 No.158), dan peraturan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Sehingga menurut Albert Hasibuan, dengan mendasarkan diri pada penafsiran “a-contratio” atau tafsir yang membandingkan perbedaan dan melihat sisi sebaliknya, maka kalimat “sejauh telah diatur”, sejatinya dapat berarti bahwa Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken S. 1898 No 158, yang disingkat GHR) masih tetap berlaku, dan dapat digunakan, mengingat bahwa aturan tentang kawin beda agama memang belum ada dan belum diatur di dalam UU no1/1974.[39]
2. 5. 5 Landasan Teologis Islam (Perkawinan Beda Agama)
·         Surat Al-Maidah ayat : 5
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik.makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzinah dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Ayat tersebut menerangkan bahwa :
      a.         Makanan daging yang disembelih oleh ahli kitab boleh dimakan oleh orang mukmin, begitu juga makanan daging yang disembelih orang mukmin boleh dimakan mereka, ini adalah suatu keringanan dalam agama.
b.               Wanita-wanita ahli kitab boleh dikawini oleh orang mukmin, asal ia wanita yang memelihara kehormatannya, mas kawin orang mukmin, asal mereka orang yang memelihara kehormatannya, mas kawin dan nafkah harus diberi. Tujuan perkawinan hendaklah jujur dan ikhlas karena Allah, bukan untuk berbuat salah.
Bedarsarkan ayat di atas dalam tafsir An-Nur disebutkan bahwa dihalalkan menikahi semua perempuan yang beriman, merdeka, dan terpelihara. Demikian pula menikahi perempuan merdeka dari ahlul kitab, asalkan memberikan mas kawinnya dengan maksud memelihara diri dari berbuat maksiat dan bukan sekedar menuangka air (zinah).[40]
·         Hadist
Ada beberapa hadist yang menerangkan tentang pernikahan beda agama, yaitu :
Rasul bersabda “Kita (Pria Muslim) boleh menikahi wanita Ahlulkitab namun mereka (Pria Ahlul Kitab) tidak boleh menikahi wanita kita (Wanita Muslim).Hadits tersebut melarang wanita Muslim menikah dengan pria Ahlul kitab, sedangkan pria Muslim boleh dengan wanita Ahlul kitab.
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda : Wanita dikawini karena empat hal : karena harta bendanya, karena status sosialnya, karena keindahan wajahnya, karena ketaatannya kepada agama. Pilihah wanita yang taat kepada agama,maka kamu akan bahagia
Berdasarkan hadist tersebut, menurut Ibnu Hamzah, perempuan itu dinikahi karena faktor-faktor kebaikan dan ketaqwaannya, karena kekayaan material dan kecantikannya.Maka Nabi menyuruh faktor mana saja yang disukai. Akan tetapi yang (taat) beragama adalah yang paling penting terpenuhi oleh wanita itu, meskipun ia kaya, atau miskin, dan keduannya (calon suami istri) bertahan (rumah tangganya) bila faktor agama tidak diindahkan.[41]
Ada beberapa alasan perkawinan beda agama dapat dilangsungkan:
·         Perkawinanan anatar orang-orang yang berbeda agama dapat saja dilangsungkan sebagai pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan seseorang untuk menentukan pasanganya. Pasal 11 ayat (2) RUU (Rancangan Undang-undang) 1973 yang berbunyi “perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama/ kepercayaan dan keturunan tidaklah menjadi penghalang perkawinan”.
·         Dalam pasal 57 Undang-undang perkawinan dan secara tersirat mengatur perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama.
·         Dalam Qs 5:5, Allah memberi “dispensasi sempit” berupa hak dan kewenangan termasuk pada laki-laki muslim untuk menikah dengan wanita Ahlul-Kitab, yaitu wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Dan dapat dipergunakan karena berbagai factor, situasi dan kondisi, yakni jika dia tinggal di tempat pria muslim itu sedikit wanita muslim, sedangkan wanita Ahlul-Kitab banyak.[42]
2. 5. 5 Konsekuensi Eklesiologis Kawin Beda Agama
Untuk merespon situasi atas terbitnya  UU no 1/1974 terutama isi pasal 66 di atas pada gilirannya mendasari terbitnya akta KETETAPAN SIDANG MPL-PGI NOMOR 01/MPL-PGI/1989 Mengenai Pemahaman Gereja-Gereja di Indonesia tentang Sahnya Perkawinan dan Perkawinan Bagi Warga Negara Yang Berbeda Agama. Ketetapan yang dirumuskan dalam persidangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor pada 29 April 1989, juga menetapkan konsekuensi eklesiologis; bahwa gereja dapat memberkati perkawinan beda agama. Namun juga memperhatikan berbagai syarat dan ketentuan yang berlaku bagi tiap-tiap anggota PGI.[43]
Lantas bagaimana dengan aturan dan peraturan serta doktrin Gereja-gereja di Indonesia menanggapi hal demikian, tentunya beragam jawab, di antara gereja- gereja ada yang menolak,/ berarti eksklusif dan  menerima dengan catatan tambahan,  mengarah inklusif. Adapun institusi gereja yang demikian di antaranya:
·         Gereja GKI yang memperbolehkan walau dengan syarat:
            1. Ia setuju pernikahannya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani
            2. Ia tidak akan menghalangi pasangannya untuk tetap hidup menurut iman Kristen.
            3. Ia tidak menghalangi anak-anaknya untuk dibabtis secara Kristen[44]

·         Gereja  GKPI berkeputusan:
a.       Perkawinan orang Kristen dan bukan orang Kristen tidak dapat diberkati.
b.      Apabila salah satu dari mereka bertahan dalam agamanya, maka yang bersangkutan dapat diterima kembali menjadi anggota GKPI setelah ia menjalanimasa penggembalaan khusus dan menyelesaikan katekisasi khusus tentang perkawinan.[45]

·         Gereja GKJW
Gereja Kristen Jawi Wetan, GKJW, mengakui dan menghargai perkawinan beda agama. Setelah berkirim surat da mendapat persetujuan BIMAS Kristen Depag RI di samping Tata dan Pranata GKJW. [46]
III.             Analisa Penyeminar
Analisa penyeminar, Sejak tahun 2005 sampai dengan Maret 2012 adalah sebanyak 282 pasangan yang sudah melangsungkan pernikahan beda Agama. Dari angka tersebut maka jumlah pasangan terbesar yang melangsungkan pernikahan beda agama  adalah dari agama Kristen- Islam (148 pasangan) dan Islam-Katolik  (127 pasangan). Sedangkan hanya 1 pasangan saja yang berasal dari agam Islam-Hindu.[47]
Dalam menangapi nikah beda agama MUI juga menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta atau Tahrim ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan asas adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah dalam bagian yang lain."
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989.Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim," ungkap ulama Muhammadiyah dalam.
 Namun saat ini bagi kalangan Islam moderat perkawinan beda agama masih diperdebatkan dan mereka juga menganggap bahwa perkawinan beda agama “dibolehkan” berdasarkan penafsiriran yang berbeda dari kalangan mayoritas yang menolak perkawinan beda agama.
Tapi menurut tokoh JIL bahwa perkawinan beda agama itu. Ulil Abshar Abdalla selaku koordinator JIL mengatakan bahwa larangan pernikahan beda agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya Al-Qur’an juga tidak pernah secara tegas melarang itu, karena Al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non Islam harus diamendemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran ke manusiaan.
Nurcholis Madjid bersama para tim penulis buku Fiqih Lintas Agama yang merupakan orang-orang yang berpandangan liberal tak ubah memandang bahwa, ditengah rentannya hubungan agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih sayang kita rajut kerukunan dan kedamaian.
Perkawinan beda agama menurut agama Kristen bahwa sebagian gereja memperbolehkan dan sebagian gereja lain tidak memperbolehkan.
·         Gereja GKI yang memperbolehkan walau dengan syarat:
            1. Ia setuju pernikahannya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani
            2. Ia tidak akan menghalangi pasangannya untuk tetap hidup menurut iman Kristen.
            3. Ia tidak menghalangi anak-anaknya untuk dibabtis secara Kristen
·         Gereja  GKPI berkeputusan:
c.       Perkawinan orang Kristen dan bukan orang Kristen tidak dapat diberkati.
d.      Apabila salah satu dari mereka bertahan dalam agamanya, maka yang bersangkutan dapat diterima kembali menjadi anggota GKPI setelah ia menjalani masa penggembalaan khusus dan menyelesaikan katekisasi khusus tentang perkawinan.
·         Gereja GKJW
Gereja Kristen Jawi Wetan, GKJW, mengakui dan menghargai perkawinan beda agama. Setelah berkirim surat da mendapat persetujuan BIMAS Kristen Depag RI di samping Tata dan Pranata GKJW.

IV.             Kesimpulan
Didalam perkawinan beda agama sebagian tokoh  Islam tidak mempersalahkan perkawinan beda agama. Menurut mereka justru jika perkawinan itu terjadi dua insan yang memiliki agama yang berebeda maka akan baik jika keduanya bisa menempatkan dan menjaga segalanya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Kerja sama anatara kedua pasangan dalam mengarahkan bahtera rumah tangga tak kalah pentingnya, dengan demikian pasangan akan mengarahkan bahtera rumah tangga yang lebih berwarna dengan perkawinan beda keyakinan. Hal ini jugalah mungkin yang membuat perkawinan beda agama sering terjadi karena bahwa perkawinan beda agama bernilai positif dan membangun kerukunan antara umat beragama.






V.                Daftar Pustaka
 Alkitab, LAI, 2011
Al-Quran, Departemen Agama, 1997
……., Ensiklopedi Islam NAH-SYA, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
……., Ensiklopedia Islam Mawa-Qabil, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Abineno, J.L.Ch., Buku Katekisasi Nikah Peneguhan dan Pemberkatannya, Jakarta: BPK-GM, 2003
Berbagai produk Undang-Undang
Choeldahono, Novembri, Materi Pokok Etika II, Jakarta, Dirjen Bimas Kristen (Protestan), 1998
Danono, Cheol, Novembri, Jakarta: Direktorat Jendral bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan, 1998
Didik Bagiyowinadi, F.X, BergandengantanganmenujualtarTuhan, Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2006
Dobsen, James C, Cinta Kasih Seumur Hidup, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999
E. Hill, Andrew dan Kohn H. Walton, Survey Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1996
Eminyah, Maurice TeologiKeluarga, Yogyakarta: Andi: 2004
Everett F. Harrison & Charles F. Pfeiffer &, The Wycliffe Bible Commentary, Malang:Gandum Mas, 2001
Gilrarso, T, Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996
H. Mohammad& Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Habiah Daud Persada, 1995
Habiah Daud, H. Mohammad Daud Ali &, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, 1995
Hadiwardoyo, Purwa, pernikahan menurut Islam dan Katholik Implikasinya dalam kawin campur, Yogyakarta: Kanisius, 1990
Hasbi ash-shiddieqy& Tengku Muhammad, Tafsir Al- Quran Majid dan Hadis An- Nuur, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000
Hasibuan, Albert, Beberapa Pokok Pikiran Tentang Penyelesaian Masalah “Perkawinan Campuran, dalam Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1994
J.M Pattiasina, Weinata Sairin, ed., Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen, Himpunan Telaah tentang Perkawinan di Lingkungan: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, BPK-GM, 1994
John L. Esposito & Joh. J. Donohue, Islam dalam pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
 Manurung, K,Makna Pemberkatan Pernikahan”, dalam, Jhon Renis Saragih (ed), KeluargaKristen,Journal Teologia Tabernakel STT Abdi Sabda Medan: CV Sinar Medan, 2007
Mulia, Siti Musdah, Islam mengugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
 P. Borrong, Robert, Etika Seksual Kontemporer, Bandung: Ink Media, 2006
Poerba, Chris, ( Berita Oikumene “Nikah beda Agama Mengapresiasi Keragaman”), 2012 edisi Mei 2012
Pfitzner, V.C, Kesatuan dalam Kepelbagaian, Tafsiran atas Surat 1 Korintus, Jakarta: BPK-GM, 2000
Pfitzner,V.C, Kekuatan dalam Kelemahan, Tafsiran Atas Surat 2 Korintus, Jakarta: BPK-GM, 2004
Prodjojo, Martiman, Undang-undang Perkawinan dan Pelaksanaanya, Jakarta: 1974
Rifa’I, H. Moh, Ilmu fiqih Islam lengkap, Semarang: CV. Toha Putra, 1978
Sitompul, A.A, MencerdaskanAnakBangsa, Jakarta: YKBK/ OMF, 2001
Sosipater, Karel, Etika Perjanjian Lama, Jakarta:  Suara Harapan Bangsa, 2010
Stott, John, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK/ OMF, 1984
Susetya,Wawan, , merajut benang cinta pernikahan, Jakarta: Republika, 2006
Tata dan Pranata GKJW, Majelis Agung, 1996
Tata Laksana, Gereja Kristen Indonesia, BAB X, ps 30 ayat9b, Jakarta, 2009
Thomson, Marjorie L., Keluarga Sebagi Pusat Pembentukan, Sebuah Visi Tentang Peranan Keluarga Dalam Pembentukan Rohani, Jakarta: BPK-GM, 2000
Tim Penulis, Fiqh Lintas Agama, (Yayasan Paramadina: Jakarta, 2004)
Tim Penyusun IAIN Syarf Hidayatullah, H. Harun Nasution,  Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djembatan, 1992
Tim Penyusun Kamus Penelitian dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1976
Tim Penyusun Panduan Pranikah, Menyatu dalam Pernikahan, Jakarta :Binawarga, 2004
Tim Penyusun, Aturan dan Peraturan GKPI , Pematangsiantar, 2005
Zuhirsyan, Muhammad, Nikah Kontrak dalam Katimin& Ahmad Rayan (ed),Isu-isu Islam Kontemporer, Bandung: Cita Pustaka Media, 2006 http//www.mui.co.id Diunduh, 03-03-2013
http://alhijrah.cidensw.net/index.php?  Diunduh, 03-03-2013
http://www.scribd.com/doc/Diunduh, 13-2-2013
Imam Syafi’i dalam klasiknya, Al-Umm:alhulkitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, http://amanah.co.id/cetakartikel.php?id=535).Diunduh,13-02-2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Lydia_Kandou, diaksese 15 Februari 2013


[1]K. Manurung, “Makna Pemberkatan Pernikahan”, dalam, Jhon Renis Saragih (ed), KeluargaKristen,Journal Teologia Tabernakel STT Abdi Sabda Medan: CV Sinar Medan, 2007, hlm. 1-2
[2]Tim Penyusun Panduan Pranikah, Menyatu dalam Pernikahan, Jakarta :Binawarga, 2004, hlm. 11
[3]http://www.scribd.com/doc/Diunduh, 13-2-2013
[4] Berbagai produk Undang-Undang
[5] Tim Penyusun Kamus Penelitian dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1976, hlm. 453
[6] Martiman Prodjojo, Undang-undang Perkawinan dan Pelaksanaanya, Jakarta: 1974, hlm. 23
[7]Novembri Choeldahono, Materi Pokok Etika II, Jakarta, Dirjen Bimas Kristen (Protestan), 1998, hlm. 58
[8] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama, Jakarta:  Suara Harapan Bangsa, 2010, hlm. 163-170
[9] Andrew E. Hill dan Kohn H. Walton, Survey Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1996, hlm. 338
[10]Robert. P. Borrong, Etika Seksual Kontemporer, Bandung: Ink Media, 2006, hlm. 7
[11]Cheol Danono, Novembri, Jakarta: Direktorat Jendral bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan, 1998, hlm. 40
[12] V.C. Pfitzner, Kekuatan dalam Kelemahan, Tafsiran Atas Surat 2 Korintus, Jakarta: BPK-GM, 2004,hlm.102
[13] Bnd. V.C. Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian, Tafsiran atas Surat 1 Korintus, Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm. 119
[14] John Stott, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK/ OMF, 1984, hlm. 374
[15] T.Gilarso, Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 6
[16] James C, Dobsen, Cinta Kasih Seumur Hidup, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999, hlm. 28
[17] A.A. Sitompul, MencerdaskanAnakBangsa, Jakarta: YKBK/ OMF, 2001, hlm.300
[18] F.X. Didik Bagiyowinadi, BergandengantanganmenujualtarTuhan, Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2006, hal. 33
[19] J.L.Ch. Abineno, Buku Katekisasi Nikah Peneguhan dan Pemberkatannya, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 1
[20] Maurice Eminyah, TeologiKeluarga, Yogyakarta: Andi: 2004, hlm. 42
[21] Charles F. Pfeiffer & Everett F. Harrison, The Wycliffe Bible Commentary, Malang :Gandum Mas, 2001. Hlm 629
[22] H. Moh. Rifa’I, Ilmu fiqih Islam lengkap, Semarang: CV. Toha Putra, 1978, hlm 453
[23] Muhammad Zuhirsyan, Nikah Kontrak dalam Katimin& Ahmad Rayan (ed),Isu-isu Islam Kontemporer, Bandung: Cita Pustaka Media, 2006, hlm. 21
[24] H. Mooh. Rifa’ I, Op. Cit, hlm. 454
[25] Purwa Hadiwardoyo, pernikahan menurut Islam dan Katholik Implikasinya dalam kawin campur, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 29
[26] Siti Musdah, Mulia, Islam mengugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Hlm. 16
[27] Tujuan pernikahan adalah untuk melahirkan anak yang akan melestarikan keberadaan manusia  sebagai spesies di dunia ini. Dalam Alquran  QS 16:72 Allah menjadikan padamu isteri-isteri dan menjadikan anak-anak dan cucu-cucu dan Allah member Rizki (lih. Joh. J. Donohue& John L. Esposito, Islam dalam pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 352)
[28] Wawan, Susetya, merajut benang cinta pernikahan, Jakarta: Republika, 2006. Hlm. 25-27
[29] Imam Syafi’i dalam klasiknya, Al-Umm:alhulkitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, (http://amanah.co.id/cetakartikel.php?id=535).  Diunduh, 13-02-2013
[30]Ibid. Diunduh, 13-02- 2013
[31] Musyrik: orang yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu benda, orang, atau bertuhan banyak. Tim Penyusun IAIN Syarf Hidayatullah, H. Harun Nasution,  Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djembatan, 1992,hlm.706
[32]……., Ensiklopedi Islam NAH-SYA, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hlm.42
[33] ……., Ensiklopedia Islam Mawa-Qabil, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hlm.  220-1
[34] http://alhijrah.cidensw.net/index.php?  Diunduh, 03-03-2013
[35]http//www.mui.co.id  Diunduh, 03-03-2013
[36]Tim Penulis, Fiqh Lintas Agama, (Yayasan Paramadina: Jakarta, 2004), hlm 164
[38]Albert Hasibuan, Beberapa Pokok Pikiran Tentang Penyelesaian Masalah “Perkawinan Campuran, dalam Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1994, hlm. 77

[39]Ibid, hlm. 77-79
[40] H. A. Hafizh Dasuki & H. Alhuman, Alquran dan Tafsiranya, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990, hlm. 395-396
[41]  Tengku Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Tafsir Al- Quran Majid dan Hadis An- Nuur, 2000,  PT. Pustaka Rizki Putra  hlm. 185-186
[42] H. Mohammad Daud Ali & Habiah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 88-89
[43]Weinata Sairin, J.M Pattiasina, ed., Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen, Himpunan Telaah tentang Perkawinan di Lingkungan: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, BPK-GM, 1994, hlm. 123
[44]Tata Laksana, Gereja Kristen Indonesia, BAB X, ps 30 ayat9b, Jakarta, 2009, hlm. 65
[45] Tim Penyusun, Aturan dan Peraturan GKPI , Pematangsiantar, 2005, hlm.  76
[46]Tata dan Pranata GKJW, Majelis Agung, 1996. Bab IV. Pasal 16, hlm Khusus
[47] Chris Poerba, ( Berita Oikumene “Nikah beda Agama Mengapresiasi Keragaman”), 2012 edisi Mei 2012, hlm. 20-21