PERNIKAHAN
BEDA AGAMA
Suatu Tinjauan Religionum Terhadap
Pernikahan Beda Agama (Kristen-Islam)
dan Relevansinya bagi Toleransi dan kerukunan umat beragama (Kristen- Islam)
I.
Pengantar
Seminar
Pernikahan adalah suatu tahap dalam kehidupan umat
manusia yang melibatkan dua insan yakni antara laki-laki dan perempuan.
Pernikahan dilakukan untuk membangun suatu hubungan yang lebih erat dalam
mengarungi kehidupan bahtera rumah tangga. Pernikahan merupakan dasar
kekeluargaan membuka pintu bagi generasi baru. Secara biologis, manusia tidak
dapat berkembang tanpa adanya pernikahan karena pernikahan menyebabkan adanya
keturunan keluarga, kerabaat dan masyarakat.
Dalam perniakahan yang pertama di taman Eden, Allah
mempunyai peranan dalam pernikahan, yakni Allah menyediakan pasangan hidup,
mempersatukan dan memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej 1:28) dan Allah
menyatakan dasar pernikahan tersebut dengan menyatakan ”Oleh karena itu seorang
laki-laki meninggalkan orangtuanya dan bersatu dengan isterinya menjadi satu
daging” (Kej. 2:24).[1]
Dengan demikian, manusia diciptakan sebagai makhluk yang bertanggung jawab,
sebagai gambar dan rupa Allah. Manusia mempunyai hubungan yang penuh tanggung
jawab dengan Tuhan, dengan sesamanya,dengan diri sendiri dan lingkungan.[2]
Sebagaimana disebut dalam Kejadian 1:28; “Allah memberkati mereka lalu
berfirmanlah Allah kepada mereka: Beranak cuculah dan bertambah banyak,
penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkusalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Dalam pandangan iman Kristen
salah satu cara agar dapat tetap memelihara bumi seturut dengan firman-Nya
yakni “berkembang dan beranak cuculah” diimani dengan melakukan pernikahan.
Perkawinan merupakan suatu
ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan
seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam
membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat di antara
pasangan tersebut. Suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan
pernikahan.
Landasan hukum agama dalam
melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting. Sehingga
penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung
pada ketentuan agama. Hal ini berarti bahwa hukum agama menyatakan perkawinan
tidak boleh atau boleh. Dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan
agama. Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan
hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan
masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang
tidak dipungkiri dan ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan
akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial di antara seluruh warga
negara Indonesia yang pluralis agamanya. Dari kenyataan yang terjadi di dalam
masyarakat bahwa ada banyak terdapat perkawinan berbeda agama, maka berangkat
dari permasalahan tersebut penyeminar mengkaji, memaparkan menurut seminar ilmu
agama-agama, agama Kristen, Islam,[3](walaupun
agama lain di luar Islam dan Kristen juga terdapat kasus yang sama, namun kedua
agama inilah yang paling mendapat perhatian publik luas) dan hukum Positif Indonesia.[4]
II. Pembahasan
2. 1 Pengertian Pernikahan Secara Umum
Pernikahan adalah kata berimbuhan yang
berasal dari
kata dasar kawin. Dalam bahasa Inggris disebut dengan kata marrydan kata marriage.
Dan dalam bahasa Belanda disebut trouven
dan hoewelijik, Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, perkawianan diartikan sebagai perjodohan antar laki-laki dan
perempuan untuk menjadi pasangan suami isteri[5].
Menurut Martiman, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga)[6].
Dengan kata lain, dapat disimpulakan bahwa perkawinan adalah penyatuan dua
pribadi dalam satu ikatan batin yaitu ikatan suami isteri, hubungan yang menyebabkan
laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan kewajiban dalam satu
keluarga.
2. 2 Pernikahan Beda Agama (Campur) dalam Alkitab
2.
2. 1 Pernikahan Dalam Perjanjian Lama
Menurut PerjanjianLamaistilah perkawinan ditinjau dari bahasa Ibraninya adalah laqakh (Kej. 19:14; Bil. 12:1) yang
artinya menerima baik, menyetujui, mengambil, membawa pergi (dengan emas) sang
isteri atau suami. Dan kata “yada”
untuk “pengantin” (Yer.2:2) yang artinya mengenal sedalam-dalamnya.[7] Jika mencermati kisah-kisah
perkawinan dalam Perjanjian Lama, maka terdapat penolakan, atau dengan kata
lain, kata TIDAK atas frase kawin beda agama. (Lihat kisah Ulangan. 7:1-11;
Keluaran. 34:12-16; Maleakhi. 2:10-15; Ezra. 2:59-62; Nehemia. 7:61-64;
13:23-29.). Penolakan tersebut dilatarbelakangi pemahaman bahwa tatkala
perkawinan beda agama dilakukan maka umat Yahweh yang secara kuantitas
jumlahnya jauh lebih kecil daripada umat/bangsa lain yang berbeda agama akan
terancam luntur.
Atas dasar kekuatiran lenyapnya Yahwehisme, demi alasan
mengamankan identitas, serta konservasi jumlah penganut iman yang sedikit, maka
munculah pelarangan dan penolakan terhadap kawin beda agama/beda suku. Umat
Yahweh hanya boleh kawin dengan sesama umat Yahweh, tidak boleh kawin dengan
goyim/yang bukan umat Yahweh.[8]
Namun, tak dapat dipungkiri pula bahwa kenyataan dari
perjumpaan dengan peradaban dan suku bangsa lain yang beragama, menjadikan
kawin beda agama sebagai realitas yang tak terhindarkan, bahkan “tokoh-tokoh
besar” Israel pun mengalaminya, seperti diperlihatkan dalam:
- Kej.
38 :1-2 (Yehuda kawin dengan Syua,wanita Kanaan)
- Kej.
46: 10 (Simeon kawin dengan wanita Kanaan)
- Kej.
41:45 (Yusuf kawin dengan Asnat, anak Potifera, imam di On-Mesir)
- Kej.
26:34 (Esau dengan Yudit, anak Beeri orang Het)
- Bil.
12:1 (Musa – sang pemimpin Israel – kawin dengan seorang perempuan Kusy)
Bahkan dalam konteks tertentu malah diizinkan. Sebagaimana
terdapat dalam Ulangan 21:10-14, yang merupakan rangkaian dari perikop yang
berbicara mengenai hukum perang yang ditetapkan bagi orang Israel (lihat Ul. 20
– 21:14). Alkitab mengungkapkan bahwa pada bagian ini dengan gamblang diatur
apabila Israel menang perang, menawan musuh dan di antaranya ada para perempuan
yang menarik, maka perempuan itu harus diperlakukan secara manusiawi, dihormati
hak-haknya. Lalu “sesudah itu bolehlah engkau menghampiri dia dan menjadi
suaminya, sehingga ia menjadi isterimu.” Dalam konteks ini perkawinan dengan
perempuan non-Israel/yang beragama lain diizinkan supaya umat tidak terjatuh
pada dosa kejahatan perang, dalam hal perlakuan biadab terhadap para perempuan
tawanan perang.
Dalam
Ezra 9:1-5 juga kita dapat melihat perkawinan beda keyakinan itu tidak boleh
dilkukan karena merusak kekudusan bangsa Israel. Kekudusan yang diberikan Allah
ini merupakan pemisahan dari bangsa-bangsa kafir itu merupakan perusak
kekudusan yang telah Allah berikan bagi bangsa Israel. Allah melarang bangsa
Israel kawin dengan bangsa-bangsa asing karena ada kemungkinan bangsa Israel
tergoda kepada kebiasaan-kebiasaan bangsa asing tersebut akan tetapi perkawinan
campur tersebut yang pada akhirnya mereka dapat meninggalkan Allah. Walaupun
Allah telah mengatakan tetapi perkawinan campur tetap ada di bangsa Israel,
mereka kawin dengan bangsa-bangsa lain.[9]
2.
2. 2 Pernikahan Dalam Perjanjian Baru
Istilah
pernikahan dalam bahasa Yunani disebut dengan “gamos” artinya “pernikahan”
dan juga “Perjamuan Kudus”. Dalam kedua bahasa tersebut (Ibrani-Yunani), tidak
begitu jauh perbedaan yang dapat diterjemahkan antara pengertian pernikahan
dalam Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Orientasi pernikahan dalam
Perjanjian Baru lebih banyak pada penciptaan keluarga yang harmonis yang
didasari oleh cinta kasih yang setia antara seorang suami dan seorang isteri
(Ef. 5:22-25).[10]
Dalam kaitan ini maka hal monogami menjadi suatu penegasan dalam membangun
sebuah pernikahan. Hal ini menegaskan bahwa dengan melakukan poligami maka
seseorang tidak akan dapat menunjukkan kasih setianya kepada pasangan hidupnya
dalam pernikahan. Kekudusan Pernikahan dalam Perjanjian Baru sangat dihargai
dan dijaga oleh kedua belah pihak, artinya untuk menjaga kekudusan dalam
pernikahan itu maka harus mampu menjauhkan diri dari perzinahan (Mat. 19:9).
Prinsip yang mendasar dalam Perjanjian Baru sebagaimana yang dikatakan dalam
Matius 19:10-11, bahwa lebih baik seseorang itu tidak menikah jika dalam
pernikahanya hanya untuk melakukan dosa.[11]
Dalam PerjanjianBaru mencatat
penggunaan teks 2 Korintus
6:14 yang berbunyi “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang
dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara
kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan
gelap?” Yang merupakan teks pelarangan melakukan perkawinan dengan orang yang
berbeda agama.[12]Tujuannya jelas, yakni agar
orang-orang Kristen/petobat baru, benar-benar menerapkan kekudusan dalam
hidupnya dan tidak lagi terjatuh dalam kehidupan cemar yang masih menjadi gaya
hidup pasangannya.[13]
2.
3 Pernikahan
MenurutAgama Kristen Protestan
Perkawinan
adalah sebagai ikatan janji yang eksklusif dan heteroseksual antara satu orang
laki-laki dan satu orang perempuan, ditahbiskan dan dikukuhkan oleh Allah dan
didahului oleh kepergian meninggalkan orangtua dengan sepengetahuan orang banyak,
mencapai kegenapan yang sepenuhnya dan persetubuhan menjadi pasangan yang
permanen, saling menopang dan biasanya dimahkotai dengan penganugerahan
anak-anak[14].
Manusia makhluk Ciptaan Allah membutuhkan hubungan antar sesama karena manusia
tidak dapat hidup sendiri. Keberadaan manusia yang seperti ini merupakan
kehendak Allah karena Allah yang menetukan yang terbaik kepada umat-Nya. Untuk
mewujudkan kehendak-Nya bagi umat manusia, Allah menciptakan manusia tidak
hanya sendiri melainkan sepasang dengan tujuan supaya manusia yang diciptakan
tersebut dapat saling menolong dan melengkapi (bnd. Kej. 2:18). Allah
menyatukan kedua manusia itu dan penyatuan itu merupakan upacara perkawinan.
Upacara perkawinan yang pertama dan suatu perkawinan masa kini adalah
“perjanjian” yang ditetapkan oleh Allah, yang artinya dalam Alkitab adalah
suatu persetujuan hikmad serius yang dibuat oleh raja atau penguasa terhadap
bawahannya dan bawahannya harus mengikuti segala peraturan dan perjanjian
tersebut. Ketika bawahan mengikuti peraturan dan perjanjian itu maka ia akan
diberkati, namun sebaliknya ketika ia tidak mengikuti peraturan dan perjanjian
tersebut maka ia akan mendapat kutuk. Allah yang Raja atau Penguasa memberi
peraturan, tugas dan tanggung jawab kepada manusia dan manusia harus
melaksanakan peraturan, tugas dan tanggung jawab tersebut.
Bagi umat Kristiani perkawinan
adalah persekutuan hidup antara laki-laki dan perempuan atas dasar ikatan cinta
kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat
ditarik kembali dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan
kesejahtraan keluarga[15].
Akan tetapi, perkawinan bukanlah hanya sekedar penyatuan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan tetapi lebih mengarah ke pelaksanaan amanat
dari Tuhan yang dapat diemban bersama-sama di dalam sebuah rumah tangga yang
utuh dan harmonis. Perkawinan mengacu kepada perjanjian-perjanjian secara
emosional yang mengikat laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama menjalani
kehidupan dan membuat keduanya menjadi berharga satu sama lain[16].
Perkawinan juga merupakan sebuah karunia yang harus diterima dengan hikmad dan
di pelihara dengan kasih. Suami isteri menjadi
satu dan saling melayani. Luther mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan suami-isteri diciptakan saling
melengkapi menjadi satu daging dan saling melayani serta saling menghormati
dalam rangkamenjalani
kehidupan dengan jalan satu pikiran dan satu hati. Hasil dari perkawinan adalah anak-anak
yang dilahirkan dari cinta kasih[17].
Puncak persekutuan orang percaya dengan Kristus dilambangkan dengan perkawinan,
sebab perkawinan merupakan persekutuan yang paling erat, paling mulia, paling kudus.
Pria
dan wanita yang saling memilih untuk menjadi teman hidup sebagai suami isteri
tentulah dilandasi rasa saling mencintai.Rasa tertarik kepada seseorang,
mencintainya, kemudian memilikinya menjadi pasangan hidup yang merupakan suatu
anugerah yang diberikan secara bebas.Penulis Kitab Kidung Agung melihat betapa
luhurnya cinta, sehingga baginya tidak kamus cinta matre “Sekalipun orang memberikan segala harta dan rumahnya untuk cinta, namun
ia pasti akan dihina”. (Kid.8:7b). Tanpa dilandasi cinta, perkawinan tidak
mungkin berdiri kokoh.[18]
Menurut
peraturan perkawinan dari banyak gereja di Indonesia nikah adalah sebuah penetapan atau peratutran Allah. Hal itu
didasarkan oleh kesaksian Alkitab (Bnd. Kej.2:24; Mat.19:3). Di situ dikatakan,
Bahwa Allah menghendaki supaya pria dan wanita yang Ia ciptakan menurut
gambar-Nya hidup sebagai suami dan isteri. Nikah
mempunyai aspek kembar. Pada satu pihak ia
adalah satu hubungan (antara suami dan isteri). Yang diatur, disahkan atas
penetapan/peraturan Allah.Hubungan yang akhir ini menurut iman Kristen lebih
dahulu daripada peraturan dan pengesahan yuridisnya.[19]
Dengan
persekutuan bebas keduanya tidak dapat ditarik kembali, keluarga Kristen
sebagai kenyataan yang kelihatan, adalah tempat anggota-anggotanya dapat
menjumpai Allah serta memperoleh berkat dari rahmat keselamatan Yesus Kristus.Pemberkatan nikah yang dilakukan oleh
gereja membuat pasangan suami tidak
hanya mendapat kelimpahan rahmat yang mereka butuhkan untuk menghidupi, tetapi
sekaligus mendapat status baru, yakni sebagai suami/isteri dan, sebagai ayah dan ibu.[20]
2. 3. 1 Landasan Teologis Kristen
(Perkawinan Beda Agama)
1 Kor. 7: 12-14 (ayt 12) dikatakan kepada
orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara
beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup
bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia
(Ayt
13)dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan
laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah dia, menceraikan
laki-laki itu
(Ayt
14) karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri
yang tidak beriman itu oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya
anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus
Tafsiran
·
Alasan pertama bagaimana dengan
pernikahan di mana salah satu pihak adalah Kristen?. Kembali peraturanya
adalah, tidak bisa cerai (1 Kor. 7-12-13)
·
Alasan yang kedua adalah karena suami
atau isteri yang tidak percaya dan anak-anak dari pernikahan campuran itu
dikuduskan. Ini tidak berarti bahwa seorang anak yang lahir dalam keluarga
dimana hanya salah satu orang-tua saja yang percaya dilahirkan “menjadi anggota
keluarga Kristus”. Dan Paulus bermaksud mengatakan bahwa prinsip Perjanjian
Lama mengenai pemindahan kenajisan tidak berlaku (Hag. 2:11-12).[21]
2. 4. Pernikahan Dalam Agama Islam
Pernikahan
berasal dari kata “nikah” artinya suatu
akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam
pengertian yang luas, pernikahan merupakan suatu ikatan lahir antara 2 orang
yaitu laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan
keturunanya yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam.[22]
Dan
dalam pandangan Islam pernikahan adalah suatu yang sangat sakral.Mulia karena tali
pernikahan salah satu yang membedakan antara manusia dan binatang dalam
pergaulan. Sakral karena pernikahan tidak semata-mata masalah dunia tetapi
menikah merupakan ibadah kepada Allah , mengikuti Sunnah Rasullah yang
mempunyai nilai tinggi. Karena itu pernikahan penting dilaksanakan atas dasar
keiklasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan hukum-huku yang berlaku.[23]
2. 4. 1 Dasar Pernikahan
Pada dasarnya pernikahan itu
dianjurkan oleh Syarat dalam surat an-Nisa ayat 3 “maka kawinilah perempuan-perempuan
yang kamu sukai, dua, tiga, dan empat tetapi jika kamu khawatir tidak dapat
berlaku adil kepada perempuan-perempuan itu hendaklah satu saja”.[24]
Pada dasarnya system pernikahan
dalam Islam adalah monogami.Dan poligami diperbolehkan hanya pada keadaan
tertentu, bagaikan pintu darurat dan persyaratanya sangta berat. Alquran
menunjukkan kehendak Allah akan pernikahan yang monogam dengan mengingatkan
umat Islam pada pernikahan suami-istri pertama sebagai teladan.[25]
Dalam
ayat Alquran ditemukan pesan moral Alqura n,
yang menyimpulkan bahwa pernikahan dalam Islam dibangun atas lima prinsip:
1. Kebebasan
dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan
2. Prinsip
mawaddah warama (cinta dan kasih
sayang)
3. Saling
melindungi dan saling melengkapi
4. Prinsip
mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang sopan)
5. Prinsip
monogamy. [26]
2. 4. 2 Tujuan
Pernikahan
Tujuan
dan dasar pernikahan dalam Islam adalah untuk mengembang biakkan keturunan
manusia secara sah.[27]
Para ulama dalam buku Cakramenggilingan
2007, menyebutkan beberapa tujuan perniakahan sebagai berikut:
1. Untuk
memeliahara jenis manusia, sebagaimana yang tertulis dalam QS. An-Nahl: 72
2. Untuk
memelihara dan melanjutkan keturunan
3. Membentengi
dari setan dari godaan hawa nafsu seks
4. Menjaga
perempuan yang lemah sebab perempuan apabila sudah kawin maka nafkahnya menjadi
wajib atas tangungan suaminya
5. Untuk
menjalin kerjasama antara suami dan isteri dalam mendidik anak-anak.[28]
2. 5.Pernikahan(Beda
Agama) Menurut Islam dan Undang-Undang Pernikahan
2.
5.
1 Pernikahan Beda Agama Menurut
Agama Islam
Berdasarkan
hukum Islam, perkawinan yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah yang didasarkan
pada suatu akidah, di samping cinta
dan ketulusan hati dari keduanya, supaya hidup suami-isteri tentram lahir
bathin. Berdasarkan deskripsi ini maka
terwujud keyakinan yang teguh untuk mengajarkan satu agama, Islam. Islam
dengan tegas melarangseorang Islam kawin dengan seorang non Muslim, baik musyrik maupun ahlulkitab.
Bentuk perkawinan beda agama mutlak diharamkan[29]
Banyak
kasus murtad dan pemurtadan antara lain melalui beda agama. Akan tetapi sering
sekali perubahan atau perpindahan agama yang dilakukan menjelang perkawinan
antara dua orang calon pasangan suami- yang memiliki agama yang berbeda adalah
dinilai hanya sebagai syarat formal, namun penghayatan sebenarnya kosong.[30]
Di
antara halangan nikah adalah bila salah satu pihak (suami) atau termasuk orang
musyrik.[31]Jika
yang musyrik itu masuk Islam, maka perkawinan tersebut boleh diteruskan, jika
sebaliknya, berarti dilarang Allah secara tegas, dan tertulis dalam surah
al-Baqarah ayat 22.[32]
Dalam
hal ini Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang perkawinan antar
umat beragama berdasarkan keputusan No.05/ kep/ Munas II/ MUI/1990. Fatwa
tersebut berisi: Perkawinan beda agama
haram hukumnya[33]
Pertama, para ulama di
Tanah Air memutuskan bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim
hukumnya haram.Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita
bukan Muslim.Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab
memang terdapat perbedaan pendapat."Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan
tersebut hukumnya haram," ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka,
dalam fatwa itu.Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis
sebagai dasar hukum.
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga
mereka beriman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
wanita orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia
menarik hatimu..." (QS: al-Baqarah:221).[34]
Selain itu, MUI juga
menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta at Tahrim ayat 6 sebagai
dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan asas adalah Sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara
setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada
Allah dalam bagian yang lain."
Ulama Nahdlatul Ulama
(NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan
dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989.Ulama NU dalam
fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di
Indonesia hukumnya tidak sah.
Majelis Tarjih dan
Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda
agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim
dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah
ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat
tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan
wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki
non-Muslim," ungkap ulama Muhammadiyah dalam.
Namun saat ini bagi kalangan Islam moderat
perkawinan beda agama masih diperdebatkan dan mereka juga menganggap bahwa
perkawinan beda agama “dibolehkan” berdasarkan penafsiriran yang berbeda dari
kalangan mayoritas yang menolak perkawinan beda agama. Di sinilah yang menjadi
letak perbedaan wacana mereka[35]
2. 5. 2. Pandangan Tokoh-tokoh Islam
·
Ulil
Abshar Abdalla selaku koordinator JIL mengatakan bahwa larangan pernikahan beda
agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya Al-Qur’an juga tidak pernah secara
tegas melarang itu, karena Al-Quran menganut pandangan universal tentang
martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk
hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non Islam harus
diamendemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran ke
manusiaan.
·
Nurcholis
Madjid bersama para tim penulis buku Fiqih Lintas Agama yang merupakan
orang-orang yang berpandangan liberal tak ubah memandang bahwa, ditengah
rentannya hubungan agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan
wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk
agama. Bermula dari ikatan tali kasih sayang kita rajut kerukunan dan
kedamaian.[36]
2. 5.3 Contoh Kasus Pernikahan beda agama
Pada tahun 1986 Lydia Kandou menikah dengan aktorJamal Mirdad.Peristiwa ini menjadi begitu kontroversial, karena perbedaan agama.Lydia
Kandou yang beragama Kristen dan Jamal Mirdad yang beragama Islam. Perbedaan agama di antara keduanya tidak menghentikan
langkah keduanya menuju mahligai pernikahan, walaupun UU Perkawinan 1974 pasal 2 ayat 1 menghalangi mereka untuk bersatu secara sah.
Undang-undang tersebut menyatakan :
"Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.
Agama dan orangtua bukan masalah
satu-satunya yang dihadapi pasangan Lydia Kandou dan Jamal Mirdad ini. Masalah
bedabudaya juga merupakan masalah yang harus
dihadapi keduanya. Lydia yang berdarah Manado-Belanda dan Jamal yang berdarah Jawa membuat mereka harus melakukan penyesuaian diri terhadap karakter dan latar belakang budaya
masing-masing.Namun dengan prinsip perbedaan adalah pelajaran buat mereka yang
dianggap berharga dan istimewa dan dengan kesabaran dan menghormati perbedaan,
pasangan ini dapat melaluinya dengan baik sampai saat ini.[37]
2. 5. 4Implikasi UU Perkawinan No 1/1974 Terhadap Kawin
Beda Agama
Ketika Indonesia Merdeka pada tahun 1945, muncul semangat
untuk secara mandiri mengatur landasan bagi kehidupan bersama di bumi
Indonesia, yang didasari oleh Pancasila.Kemudian dalam prosesnya diajukan dan
dibahaslah rancangan undang-undang (RUU) perkawinan yang berdasarkan Pancasila,
bersifat nasional, berlaku bagi seluruh warga negara serta menjamin kepastian
hukum.
Semula
pasal 2 ayat 1 RUU Perkawinan berbunyi:
“Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan di hadapan pegawai pencatat
perkawinan, dicatat dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
perkawinan, dicatat dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
Namun menurut Albert Hasibuan, pembahasan RUU tersebut
mendapat reaksi dan protes keras dari golongan yang menghendaki berlakunya
hukum agama di dalam peraturan perundangan perkawinan. Reaksi keras tidak hanya
menyangkut sahnya perkawinan, tetapi juga tentang asas monogami, perceraian,
perwalian, termasuk juga pasal (11) ayat (2) RUU yang memuat ketentuan yang
memungkinkan kawin beda agama.[38]
Maka ketika Undang Undang Perkawinan disahkan, muncullah
ketentuan yang bersifat kompromistis. Albert mengungkapkan, UU Perkawinan no
1/1974 dikatakan kompromistis karena memberlakukan hukum agama menjadi hukum
positif, sebagai hukum negara: pada akhirnya Pasal 2 ayat 1 UU no 1/1974
berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Jadi yang semula di dalam draft RUU, sahnya perkawinan
adalah jika dilakukan di hadapan Negara, kini sahnya perkawinan adalah ketika
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dan tentang kawin
beda agama dalam RUU pasal 11 ayat 2 menjadi dihilangkan (di-drop). Namun tetap
timbul kesimpangsiuran dalam menafsirkan pelaksanaannya. Terutama berkaitan
dengan kawin beda agama yang sama sekali tidak diatur. Maka jelas terdapat
kekosongan hukum. Dengan demikian dapat dipahami jika alasan “ketiadaan aturan”
kerapkali digunakan sebagai justifikasi/dasar pembenar dari pihak Catatan
Sipil, lembaga agama, bahkan Gereja, juna menolak mereka yang hendak
melangsungkan perkawinan beda agama.
Jika dicermati di dalam ketentuan peralihan pasal 66 UU
No.1/1974, terdapat pernyataan yang berbunyi:
“untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka
dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken S.1898
No.158), dan peraturan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Sehingga menurut Albert Hasibuan, dengan mendasarkan diri
pada penafsiran “a-contratio” atau tafsir yang membandingkan perbedaan dan
melihat sisi sebaliknya, maka kalimat “sejauh telah diatur”, sejatinya dapat
berarti bahwa Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken
S. 1898 No 158, yang disingkat GHR) masih tetap berlaku, dan dapat digunakan,
mengingat bahwa aturan tentang kawin beda agama memang belum ada dan belum
diatur di dalam UU no1/1974.[39]
2. 5. 5 Landasan Teologis Islam (Perkawinan
Beda Agama)
·
Surat Al-Maidah ayat : 5
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik.makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzinah dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Ayat tersebut menerangkan bahwa :
a. Makanan daging yang disembelih oleh
ahli kitab boleh dimakan oleh orang mukmin, begitu juga makanan daging yang
disembelih orang mukmin boleh dimakan mereka, ini adalah suatu keringanan dalam
agama.
b. Wanita-wanita ahli kitab boleh dikawini
oleh orang mukmin, asal ia wanita yang memelihara kehormatannya, mas kawin
orang mukmin, asal mereka orang yang memelihara kehormatannya, mas kawin dan
nafkah harus diberi. Tujuan perkawinan hendaklah jujur dan ikhlas karena Allah,
bukan untuk berbuat salah.
Bedarsarkan ayat di atas dalam tafsir An-Nur
disebutkan bahwa dihalalkan menikahi semua perempuan yang beriman, merdeka, dan
terpelihara. Demikian pula menikahi perempuan merdeka dari ahlul kitab, asalkan
memberikan mas kawinnya dengan maksud memelihara diri dari berbuat maksiat dan
bukan sekedar menuangka air (zinah).[40]
·
Hadist
Ada beberapa hadist yang menerangkan tentang
pernikahan beda agama, yaitu :
Rasul bersabda “Kita (Pria Muslim) boleh
menikahi wanita Ahlulkitab namun mereka (Pria Ahlul Kitab) tidak boleh menikahi
wanita kita (Wanita Muslim).Hadits tersebut melarang wanita Muslim menikah
dengan pria Ahlul kitab, sedangkan pria Muslim boleh dengan wanita Ahlul kitab.
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda : Wanita dikawini
karena empat hal : karena harta bendanya, karena status sosialnya, karena
keindahan wajahnya, karena ketaatannya kepada agama. Pilihah wanita yang taat
kepada agama,maka kamu akan bahagia
Berdasarkan hadist tersebut, menurut Ibnu
Hamzah, perempuan itu dinikahi karena faktor-faktor kebaikan dan ketaqwaannya,
karena kekayaan material dan kecantikannya.Maka Nabi menyuruh faktor mana saja
yang disukai. Akan tetapi yang (taat) beragama adalah yang paling penting
terpenuhi oleh wanita itu, meskipun ia kaya, atau miskin, dan keduannya (calon
suami istri) bertahan (rumah tangganya) bila faktor agama tidak diindahkan.[41]
Ada
beberapa alasan perkawinan beda agama dapat dilangsungkan:
·
Perkawinanan
anatar orang-orang yang berbeda agama dapat saja dilangsungkan sebagai
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan seseorang untuk menentukan
pasanganya. Pasal 11 ayat (2) RUU (Rancangan Undang-undang) 1973 yang berbunyi
“perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama/ kepercayaan dan keturunan
tidaklah menjadi penghalang perkawinan”.
·
Dalam
pasal 57 Undang-undang perkawinan dan secara tersirat mengatur perkawinan
antara orang-orang yang berbeda agama.
·
Dalam
Qs 5:5, Allah memberi “dispensasi sempit” berupa hak dan kewenangan termasuk
pada laki-laki muslim untuk menikah dengan wanita Ahlul-Kitab, yaitu
wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Dan dapat dipergunakan karena berbagai
factor, situasi dan kondisi, yakni jika dia tinggal di tempat pria muslim itu
sedikit wanita muslim, sedangkan wanita Ahlul-Kitab banyak.[42]
2.
5. 5 Konsekuensi
Eklesiologis
Kawin Beda Agama
Untuk merespon situasi atas terbitnya UU no 1/1974 terutama isi pasal 66 di atas
pada gilirannya mendasari terbitnya akta KETETAPAN SIDANG MPL-PGI NOMOR
01/MPL-PGI/1989 Mengenai Pemahaman Gereja-Gereja di Indonesia tentang Sahnya
Perkawinan dan Perkawinan Bagi Warga Negara Yang Berbeda Agama. Ketetapan yang
dirumuskan dalam persidangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di
Wisma Kinasih, Caringin, Bogor pada 29 April 1989, juga menetapkan konsekuensi
eklesiologis; bahwa gereja dapat
memberkati perkawinan beda agama. Namun juga memperhatikan berbagai
syarat dan ketentuan yang berlaku bagi tiap-tiap anggota PGI.[43]
Lantas bagaimana dengan aturan dan peraturan serta doktrin
Gereja-gereja di Indonesia menanggapi hal demikian, tentunya beragam jawab, di antara
gereja- gereja ada yang menolak,/
berarti eksklusif dan menerima dengan catatan tambahan, mengarah inklusif. Adapun institusi gereja
yang demikian di antaranya:
·
Gereja
GKI
yang memperbolehkan walau dengan
syarat:
1. Ia setuju pernikahannya
diteguhkan dan diberkati secara Kristiani
2. Ia tidak akan menghalangi
pasangannya untuk tetap hidup menurut iman Kristen.
3. Ia tidak menghalangi anak-anaknya
untuk dibabtis secara Kristen[44]
·
Gereja
GKPI berkeputusan:
a. Perkawinan orang Kristen dan bukan
orang Kristen tidak dapat diberkati.
b. Apabila
salah satu dari mereka bertahan dalam agamanya, maka yang bersangkutan dapat
diterima kembali menjadi anggota GKPI setelah ia menjalanimasa penggembalaan
khusus dan menyelesaikan katekisasi khusus tentang perkawinan.[45]
·
Gereja
GKJW
Gereja
Kristen Jawi Wetan, GKJW, mengakui
dan menghargai perkawinan beda agama.
Setelah berkirim surat da mendapat persetujuan BIMAS Kristen Depag RI di
samping Tata dan Pranata GKJW. [46]
III.
Analisa Penyeminar
Analisa penyeminar, Sejak tahun 2005 sampai dengan
Maret 2012 adalah sebanyak 282 pasangan yang sudah melangsungkan pernikahan
beda Agama. Dari angka tersebut maka jumlah pasangan terbesar yang
melangsungkan pernikahan beda agama
adalah dari agama Kristen- Islam (148 pasangan) dan Islam-Katolik (127 pasangan). Sedangkan hanya 1 pasangan
saja yang berasal dari agam Islam-Hindu.[47]
Dalam menangapi nikah
beda agama MUI juga menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta atau
Tahrim ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan asas adalah Sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah kawin, ia
telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa
(takut) kepada Allah dalam bagian yang lain."
Ulama Nahdlatul Ulama
(NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan
dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989.Ulama NU dalam
fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di
Indonesia hukumnya tidak sah.
Majelis Tarjih dan
Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda
agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim
dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah
ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat
tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan
wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim,"
ungkap ulama Muhammadiyah dalam.
Namun saat ini bagi kalangan Islam moderat
perkawinan beda agama masih diperdebatkan dan mereka juga menganggap bahwa
perkawinan beda agama “dibolehkan” berdasarkan penafsiriran yang berbeda dari
kalangan mayoritas yang menolak perkawinan beda agama.
Tapi menurut tokoh JIL bahwa perkawinan beda
agama itu. Ulil
Abshar Abdalla selaku koordinator JIL mengatakan bahwa larangan pernikahan beda
agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya Al-Qur’an juga tidak pernah secara
tegas melarang itu, karena Al-Quran menganut pandangan universal tentang
martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.Segala produk
hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non Islam harus
diamendemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran ke
manusiaan.
Nurcholis Madjid bersama para tim penulis buku Fiqih Lintas
Agama yang merupakan orang-orang yang berpandangan liberal tak ubah memandang
bahwa, ditengah rentannya hubungan agama saat ini, pernikahan beda agama justru
dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara
masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih sayang kita rajut
kerukunan dan kedamaian.
Perkawinan beda agama menurut agama Kristen
bahwa sebagian gereja memperbolehkan dan sebagian gereja lain tidak
memperbolehkan.
·
Gereja
GKI
yang memperbolehkan walau dengan
syarat:
1. Ia setuju pernikahannya
diteguhkan dan diberkati secara Kristiani
2. Ia tidak akan menghalangi
pasangannya untuk tetap hidup menurut iman Kristen.
3. Ia tidak menghalangi anak-anaknya
untuk dibabtis secara Kristen
·
Gereja
GKPI berkeputusan:
c. Perkawinan orang Kristen dan bukan
orang Kristen tidak dapat diberkati.
d. Apabila
salah satu dari mereka bertahan dalam agamanya, maka yang bersangkutan dapat
diterima kembali menjadi anggota GKPI setelah ia menjalani masa penggembalaan
khusus dan menyelesaikan katekisasi khusus tentang perkawinan.
·
Gereja
GKJW
Gereja
Kristen Jawi Wetan, GKJW, mengakui
dan menghargai perkawinan beda agama.
Setelah berkirim surat da mendapat persetujuan BIMAS Kristen Depag RI di
samping Tata dan Pranata GKJW.
IV.
Kesimpulan
Didalam perkawinan beda agama sebagian tokoh Islam tidak mempersalahkan perkawinan beda
agama. Menurut mereka justru jika perkawinan itu terjadi dua insan yang
memiliki agama yang berebeda maka akan baik jika keduanya bisa menempatkan dan
menjaga segalanya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Kerja sama anatara
kedua pasangan dalam mengarahkan bahtera rumah tangga tak kalah pentingnya,
dengan demikian pasangan akan mengarahkan bahtera rumah tangga yang lebih
berwarna dengan perkawinan beda keyakinan. Hal ini jugalah mungkin yang membuat
perkawinan beda agama sering terjadi karena bahwa perkawinan beda agama
bernilai positif dan membangun kerukunan antara umat beragama.
V.
Daftar
Pustaka
Alkitab, LAI, 2011
Al-Quran,
Departemen Agama, 1997
……., Ensiklopedi Islam NAH-SYA, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994
……., Ensiklopedia Islam Mawa-Qabil, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994
Abineno, J.L.Ch., Buku Katekisasi Nikah Peneguhan dan Pemberkatannya, Jakarta: BPK-GM,
2003
Berbagai produk Undang-Undang
Choeldahono, Novembri, Materi
Pokok Etika II, Jakarta, Dirjen Bimas Kristen (Protestan), 1998
Danono, Cheol, Novembri,
Jakarta: Direktorat Jendral bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan, 1998
Didik Bagiyowinadi, F.X, BergandengantanganmenujualtarTuhan,
Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2006
Dobsen, James C, Cinta Kasih Seumur Hidup, Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 1999
E. Hill, Andrew dan Kohn H.
Walton, Survey Perjanjian Lama,
Malang: Gandum Mas, 1996
Eminyah, Maurice TeologiKeluarga, Yogyakarta: Andi: 2004
Everett F. Harrison & Charles
F. Pfeiffer &, The Wycliffe Bible
Commentary, Malang:Gandum Mas, 2001
Gilrarso, T, Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996
H. Mohammad& Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, PT
Raja Grafindo Habiah Daud Persada, 1995
Habiah Daud, H. Mohammad Daud Ali
&, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia,
PT Raja Grafindo Persada, 1995
Hadiwardoyo, Purwa, pernikahan menurut Islam dan Katholik
Implikasinya dalam kawin campur, Yogyakarta: Kanisius, 1990
Hasbi ash-shiddieqy& Tengku
Muhammad, Tafsir Al- Quran Majid dan
Hadis An- Nuur, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000
Hasibuan,
Albert, Beberapa Pokok Pikiran Tentang
Penyelesaian Masalah “Perkawinan Campuran, dalam Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan dalam Perspektif Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1994
J.M
Pattiasina, Weinata Sairin, ed.,
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen, Himpunan Telaah
tentang Perkawinan di Lingkungan: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia,
BPK-GM, 1994
John L. Esposito & Joh. J.
Donohue, Islam dalam pembaharuan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Manurung, K, “Makna Pemberkatan
Pernikahan”, dalam, Jhon Renis Saragih (ed), KeluargaKristen,Journal Teologia Tabernakel STT Abdi Sabda Medan:
CV Sinar Medan, 2007
Mulia, Siti Musdah, Islam mengugat
Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
P. Borrong, Robert, Etika
Seksual Kontemporer, Bandung: Ink Media, 2006
Poerba, Chris, ( Berita Oikumene “Nikah beda Agama
Mengapresiasi Keragaman”), 2012 edisi Mei 2012
Pfitzner, V.C, Kesatuan dalam Kepelbagaian, Tafsiran atas
Surat 1 Korintus, Jakarta: BPK-GM, 2000
Pfitzner,V.C, Kekuatan dalam
Kelemahan, Tafsiran Atas Surat 2 Korintus, Jakarta: BPK-GM, 2004
Prodjojo, Martiman, Undang-undang Perkawinan dan Pelaksanaanya,
Jakarta: 1974
Rifa’I, H. Moh, Ilmu fiqih Islam lengkap, Semarang: CV.
Toha Putra, 1978
Sitompul, A.A, MencerdaskanAnakBangsa, Jakarta: YKBK/
OMF, 2001
Sosipater, Karel, Etika Perjanjian Lama, Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010
Stott, John, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK/ OMF, 1984
Susetya,Wawan, , merajut benang cinta pernikahan,
Jakarta: Republika, 2006
Tata dan Pranata GKJW, Majelis Agung, 1996
Tata Laksana, Gereja Kristen Indonesia, BAB X, ps 30
ayat9b, Jakarta, 2009
Thomson,
Marjorie L., Keluarga
Sebagi Pusat Pembentukan, Sebuah Visi Tentang Peranan Keluarga Dalam
Pembentukan Rohani, Jakarta: BPK-GM, 2000
Tim Penulis, Fiqh Lintas
Agama, (Yayasan Paramadina:
Jakarta, 2004)
Tim Penyusun IAIN Syarf
Hidayatullah, H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
Djembatan, 1992
Tim Penyusun Kamus Penelitian dan
Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1976
Tim Penyusun, Aturan dan Peraturan GKPI , Pematangsiantar,
2005
Zuhirsyan, Muhammad, Nikah Kontrak dalam Katimin& Ahmad Rayan
(ed),Isu-isu Islam Kontemporer, Bandung: Cita Pustaka Media, 2006 http//www.mui.co.id Diunduh, 03-03-2013
http://alhijrah.cidensw.net/index.php? Diunduh, 03-03-2013
http://www.scribd.com/doc/Diunduh,
13-2-2013
Imam Syafi’i dalam klasiknya, Al-Umm:alhulkitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, http://amanah.co.id/cetakartikel.php?id=535).Diunduh,13-02-2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Lydia_Kandou, diaksese 15
Februari 2013
[1]K.
Manurung, “Makna Pemberkatan Pernikahan”,
dalam, Jhon Renis Saragih (ed), KeluargaKristen,Journal
Teologia Tabernakel STT Abdi Sabda Medan: CV Sinar Medan, 2007, hlm. 1-2
[2]Tim
Penyusun Panduan Pranikah, Menyatu dalam
Pernikahan, Jakarta :Binawarga, 2004, hlm. 11
[5] Tim Penyusun Kamus Penelitian
dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1976, hlm.
453
[6] Martiman Prodjojo, Undang-undang Perkawinan dan Pelaksanaanya,
Jakarta: 1974, hlm. 23
[7]Novembri
Choeldahono, Materi Pokok Etika II,
Jakarta, Dirjen Bimas Kristen (Protestan), 1998, hlm. 58
[8] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama, Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010, hlm. 163-170
[9] Andrew E. Hill dan Kohn H.
Walton, Survey Perjanjian Lama,
Malang: Gandum Mas, 1996, hlm. 338
[10]Robert.
P. Borrong, Etika Seksual Kontemporer, Bandung:
Ink Media, 2006, hlm. 7
[11]Cheol
Danono, Novembri, Jakarta: Direktorat
Jendral bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan, 1998, hlm. 40
[12] V.C. Pfitzner, Kekuatan dalam Kelemahan, Tafsiran Atas
Surat 2 Korintus, Jakarta: BPK-GM, 2004,hlm.102
[13] Bnd. V.C. Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian, Tafsiran atas
Surat 1 Korintus, Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm. 119
[14] John Stott, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK/ OMF, 1984, hlm. 374
[16] James C, Dobsen, Cinta Kasih Seumur Hidup, Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 1999, hlm. 28
[18] F.X. Didik Bagiyowinadi, BergandengantanganmenujualtarTuhan,
Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2006, hal. 33
[19] J.L.Ch. Abineno, Buku Katekisasi Nikah Peneguhan dan Pemberkatannya, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 1
[21] Charles F. Pfeiffer &
Everett F. Harrison, The Wycliffe Bible
Commentary, Malang :Gandum Mas, 2001. Hlm 629
[22] H. Moh. Rifa’I, Ilmu fiqih Islam lengkap, Semarang: CV.
Toha Putra, 1978, hlm 453
[23] Muhammad Zuhirsyan, Nikah Kontrak dalam Katimin& Ahmad Rayan
(ed),Isu-isu Islam Kontemporer, Bandung: Cita Pustaka Media, 2006, hlm. 21
[24] H. Mooh. Rifa’ I, Op. Cit, hlm. 454
[25] Purwa Hadiwardoyo, pernikahan menurut Islam dan Katholik
Implikasinya dalam kawin campur, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 29
[26] Siti Musdah, Mulia, Islam mengugat Poligami, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004. Hlm. 16
[27] Tujuan pernikahan adalah untuk
melahirkan anak yang akan melestarikan keberadaan manusia sebagai spesies di dunia ini. Dalam
Alquran QS 16:72 Allah menjadikan padamu
isteri-isteri dan menjadikan anak-anak dan cucu-cucu dan Allah member Rizki
(lih. Joh. J. Donohue& John L. Esposito, Islam dalam pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.
352)
[28] Wawan, Susetya, merajut benang cinta pernikahan,
Jakarta: Republika, 2006. Hlm. 25-27
[29] Imam Syafi’i dalam klasiknya, Al-Umm:alhulkitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, (http://amanah.co.id/cetakartikel.php?id=535).
Diunduh, 13-02-2013
[31] Musyrik: orang yang
mempersekutukan Allah dengan sesuatu benda, orang, atau bertuhan banyak. Tim
Penyusun IAIN Syarf Hidayatullah, H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia,
Jakarta: Djembatan, 1992,hlm.706
[32]……., Ensiklopedi Islam NAH-SYA, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994, hlm.42
[33] ……., Ensiklopedia Islam Mawa-Qabil, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994, hlm. 220-1
[36]Tim Penulis, Fiqh Lintas
Agama, (Yayasan Paramadina:
Jakarta, 2004), hlm 164
[38]Albert
Hasibuan, Beberapa Pokok Pikiran Tentang
Penyelesaian Masalah “Perkawinan Campuran, dalam Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan dalam Perspektif Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1994, hlm. 77
[40] H. A. Hafizh Dasuki & H.
Alhuman, Alquran dan Tafsiranya, PT.
Dana Bhakti Wakaf, 1990, hlm. 395-396
[41]
Tengku Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Tafsir
Al- Quran Majid dan Hadis An- Nuur, 2000,
PT. Pustaka Rizki Putra hlm.
185-186
[42] H. Mohammad Daud Ali &
Habiah Daud, Lembaga-lembaga Islam di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 88-89
[43]Weinata
Sairin, J.M Pattiasina, ed., Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen, Himpunan Telaah tentang
Perkawinan di Lingkungan: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, BPK-GM,
1994, hlm. 123
[44]Tata Laksana, Gereja Kristen Indonesia, BAB X, ps 30 ayat9b,
Jakarta, 2009, hlm. 65
[47] Chris Poerba, ( Berita Oikumene “Nikah beda Agama
Mengapresiasi Keragaman”), 2012 edisi Mei 2012, hlm. 20-21