Metode
Kristologi Fungsional dalam berbagai konteks pergumulan di benua Eropa, benua
Amerika, benua Afrika, benua Asia, dan Lokal (Kristus dalam pewartaan
Gereja-gereja dan masyarakat Kristen di Sumatera Utara)
I. Pendahuluan
Berbicara tentang Kristologi
merupakan suatu pembicaraan yang berkaitan dengan Kristus. Dan padapada paper
ini Kristus di kontekstualisasikan sesuai dengan konteks yang ada. Konteks
pergumulan hidup di dunia ini bebeda-beda. Dalam bahasan kita kali ini kita
akan membahas apa, bagaimana, kapan pergumulan-pergumulan untuk memberitakan
tentang Kristologi, seperti di benua Eropa, Arika, Afrika, Asia, dan Sumut.
Semoga sajian kain dapat menambah wawasan kita.
II. Pembahasan
2.1.
Pengertian Kristologi Fungsional
Kristologi adalah satu upaya untuk
menjelaskan pokok iman Kristen tentang Yesus Kristus, pertanyaan yang membangun
mengenai hal ini, yaitu: Siapakah Yesus yang lahir hidup pada waktu dan tempat
tertentu itu, yang kemudian di imani sebagai Allah yang menyatakan diri kepada
manusia, yang disebut Anak Allah? Kristologi adalah pemahaman dan kesaksian iman
yang diekspresikan melalui refleksi teologis.[1] Jadi,
dapat disebutkan bahwa Kristologi fungsional merupakan penghayatan iman akan
fungsi Kristus dalam konteks kehidupan orang percaya, yaitu realitas-realitas
setiap situasi, yang semuanya menjadi sasaran perubahan. [2]
2.2.
Benua Eropa
2.2.1. Konteks Pergumulan
Pada abad ke-19 di Eropa terjadilah urbanisasi dan
industrialisasi. Kaum buruh merasa tertindas oleh golongan yang menguasai
kehidupan ekonomis dan politis. Kaum buruh sudah tidak lagi begitu
memperdulikan gereja dan iman Kristen. Lalu datanglah Karl Marx yang
menganjurkan sosialisme kepada mereka yang digabungkannya dengan ateisme dan
materialism.[3]
Terutama kaum buruh di Eropa kaum buruh terasing dari gereja oleh karena sudah
memiliki persekutuan yang baru, yaitu partai, etika yang baru, yaitu pergumulan
kelas, dan sorga yang baru yaitu masyarakat yang baru menurut Marx, akan
diwujudkan sesudah revolusi yang besar.[4]
Di salah satu bagian wilayah di benua
Eropa yang menggambarkan keadaan sosial adalah kota London. Banyak orang hidup
melarat, ada banyak pemabuk dan pelacur. Di kota London dalam waktu satu tahun
terdapat 2.157 orang mati begitu saja dijalanan, 2.297 yang bunuh diri, 30.000
wanita pelacur, 160.000 orang dihukum karena mabuk di jalan umum, dan 900.000
orang yang melarat, anak-anak gelandangan, orang-orang yang kelaparan.[5]
Tidak dapat di sangkal bahwa
terjadinya konteks pergumulan di Eropa di awali dengan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan,
dimana mereka mengandalkan akal pikiran atau rasio yang pada akhirnya mereka
makin lama mendewa-dewakan pikiran dan akhirnya mereka juga menghadapi
pemikiran filsafat, yang semakin lama semakin memasuki pemikiran Kristiani.
Pada abad ke-18 yang ditandai dengan perhatian umum terhadap ilmu pengetahuan
yang makin lama makin bertambah maju, dan oleh perkembangan pemikiran
masyarakat dengan munculnya ilmu ketatanegaraan yang rasional.[6]
Pada abad ke-19 berkembang berkembang
usaha untuk mengetahui Yesus dan apa yang diperbuat Yesus. Yesus yang
diberitakan sejarah bukan seperti yang diberitakan oleh Alkitab. Para peneliti
berusaha untuk meneliti gambaran yang bermacam-macam mengenai Yesus, yang
didasarkan pada sumber historis, tetapi pada pandangan dunia masing-masing.[7]
Namun selama modernisasi ditandai oleh penyempitan rasional yang sebenarnya
meragukan dan kurang menghargai orang lain. Pandangan yang menganggap Yesus
sebagai manusia belaka yang mencirikan teologi Inggris tidak banyak menolong.[8]
Sehingga permasalahan tentang Kristologi berkembang hingga saat ini dan
memunculkan banyak pandangan-pandangan dari tokoh-tokoh di Eropa.
2.2.2. Pemikiran Tentang Kristologi
Fungsional
a.
Karl
Barth
Karl Barth lahir di Basel pada tahun 1886,
anak sulung dari gembala jemaat Calinis. Setelah belajar di Universitas Bern.
Pendidikan teologinya sebagian besar ditempuhnya di Jerman pada berbagai
Universitasseperti Universitas Berlin, Tubingan, Marburg. Ia menjadi pendeta
Calvinis di Swiss. Adapun karyanya yang terkenal adalah Romerbrief.[9]
Barth menjadi pemimpin reaksi ortodoksi baru terhadap liberalism pada abad
ke-19.[10]
Jika teologi abad ke-20 meniadakan
jarak antara Allah dan manusia, maka teologi Karl Barth mempertahankan dengan
gigih adanya jarak yang tidak terjangkau oleh manusia dengan Tuhan Allah. Ia
mengajarkan bahwa Allah berada pada tempat yang sama sekali tidak terjangkau
oleh manusia. Manusi hanya dapat berbicara tentang Tuhan secara diakletis.
Artinya dengan cara mengaatakan dua hal yang kelihatn bertentangan, tetapi satu
sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Karya monumentalnya yang besar adalah
“dogmatika gerejawi”. Dalam bukunya ini Barth menempatkan dirinya dibawah
wibawa Firman Allah. Ia tidak membedakan antara penyataan Allah dan Firman
Allah. Keduanya adalah satu, sebab penyataan Allah itu tidak lain dari pada
Kristus sendiri. Ia sangat menekankan Kristus dalam penguraian pandangan
teologinya sehingga dapat dikatakan teologinya adalah Kristologi. Kristologinya
dimulai dari pra-eksistensi Kristus. Kristus menjadi menjadi pokok yang besar
dalam teologinya. Tuhan Allah telah menyatakan anugerahnya dalam Yesus Kristus,
pemilihan manusia ditentukan pada pemilihan Tuhan Allah terhadap Kristuts.
Allah memilih Kristus berarti sekaligus Allah memilih manusia sebagai
sekutunya.[11]
b.
Rudolf
Bultmann
Rudolf Bultman lahir pada tahun 1884
di Wefelstede dekat Oldensburg, di Jerman. Ia belajar teologi di Universitas
Tubingen, Berlin, dan Marburg. Bultmann merupakan pakar Perjanjian Baru
daripada teolog[12]
dan seorang ahli piker sistematis. Bultmann mencoba untuk mengembangkan warisan
teologi liberal, yaitu pikiran historis kritis guna melayani gereja. Segala
usahanya itu didasarkan atas pembaharuan yang telah dilakukan oleh teologi
diakletis.[13]
Bultmann menganalisa cerita-cerita Injil dan menggolongkannya dalam berbagai
tipe dan bentuk. Dengan demikian ia hendak menentukan benar tidaknya secara
historis. Bultmann sampai pada kesimpulann bahwa kebanyakan ucapan Yesus yang
tercatat tidak berasal dari Yesus sendiri, tetapi dari kehidupan jemaat-jemaat
Kristen purba. Liberalisme abad ke-20 dengan yakin merekontruksikan suatu gambaran
Yesus yang historis, Yesus sebagaimana adanya, yang kemungkinan ternyata
merupakan seorang Kristen liberal yang baik.[14]
Mennurut Bultmann iman tidak bisa timbul oleh ilmu pengetahuan atau sejarah,
iman dapat timbul hanya melalui suatu cara mengenal yang khusus, melalui Firman
Allah atau Roh-Nya. Karena pengakuan akan Kristus sebagai Firman Allah tidak
bergantung pada pengetahuan historis. Bultmann menyimpulkan bahwa semakin
sedikit mengenal Yesus itu semakin baik.[15]
c.
Dietrich
Boenhoeffer
Boenhoeffer
dilahirkan pada tanggal 4 Februari 1906 di Breslau, Jerman. Pada usia 17 tahun
dia telah memasuki Universitas Tubingen dan studi teologinya dilanjutkannya di
Berlin. Ia adalah seorang yang mengamati perkembangan politik di Jerman. Ia
menentang kekuasaan Hitler dengan Nazinya. Akibatnya dia sering ditegur
pemerintahan Jerman. Dia ditangkap dan dipenjarakan di Berkin dan pada April
1945 ia dihukum mati di Flossenburg. Kata-katanya yang terakhir adalah “ini
adalah yang terakhir dari semuanya, tetapi bagiku ini adalah awal dari
kehiduan”.[16]
Karya Boenhoeffer yang terkenal adalah “mengikut Yesus” atau Noachfolge. Kasih karunia yang murah
bertolak dari kenyataan bahwa orang Kristen sejati pun tetap berdosa lalu
menggunakan fakta ini membenarkan kehidupan orang berdosa. Setiap usaha untuk
hidup sebagai murid dicap sebagai legalisme atau kegairahan. Boenhoeffer mengusulkan
“kekristenan tanpa agama” artinya kita harus melihat bahwa Yesus Kristus
sebagai “Tuhan orang yang tidak beragama”. Ia ingin membersihkan orang Kristen
dari segi-segi tertentu dari keragaman yang bersifat borjuis dan picik. Baginya
gereja harus mengikuti teladan Yesus “manusia bagi orang lain”.[17]
d.
Paul
Tillich
Paul Tillich dilahirkan di
Brandenburg, Jerman pada tahun 1886. Dalam Kristologi, Paul Tillich bertolak
dari situasi manusia. Yesus Kristus adalah gambar kemanusiaan yang hakiki sudah
terwujud dibawah kondisi-kondisi eksistensi. Yesus adalah manusia yang tidak
lagi hidup di dalam persaingan diri sendiri, melainkan dalam kesatuan dengan
diri sendiri, dunia, dan terutama dengan Allah. Fungsi Kristus adalah membawa
keadaan baru.
2.3. Benua Amerika
2.3.1. Konteks Pergumulan
Amerika
Serikat adalah negara pertama, dimana gereja menjadi dipisahkan dengan negara.
Gereja-gereja tidak mendapat dukungan apapun dari negara, dan negara tidak
mencampuri urusan gereja-gereja. Dan salah satu cirri khas Kekristenan di Amerika
adalah banyaknya kelompok yang sangat menekankan satu pokok ajaran sambil
menolak sesama orang Kristen yang tidak
menerima ajaran itu.[18]
Bagi kaum tertindas didunia bukan ideologi
demokratis yang dikagumi melainkan demokrasi yang terungkap dalam perjuangan
kaum kulit putih demi hak-hak dan demokratis. Banyak gerakan-gerakan yang pada
saat itu berusaha dalam perjuangan hak-hak sipil dewmi pembebasan. Konfrensi
kepemimpinan Kristen selatan yang yang didirikan pada tahun 1957 dipimpin oleh
Marthin Luther King menggelar aksi protes selama 382 hari.[19]
Kaum kapitalisme, golongan orang yang
sangat kaya yang menggunakan kekayaannya untuk menguasai kaum yang lemah yang
menindas rakyat dan yang bersenang-senang diatas penderitaan kaum lemah. Negara
Ameriks mengalami kemelaratan yang disebabkan kemiskinan, dan keterbelakangan
oleh karena penindasan (rezim pemerintahan rakyat).[20]
Amerika Latin merupakan daerah yang
kaya dengan sumber daya alam, namun penduduknya dikepung oleh kemelaratan.
Kekayaan Negara-negara Amerika Latin hanya dinikmati oleh sekelompok orang yang
menerapkan sistim maciavelly, yaitu
mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara. Hal ini sama artinya dengan
memperkaya diri dengan cara mengorbankan orang lain, kaum lemah. Upaya untuk
mengatasi kemelaratan di Amerika Latin telah diupayakan oleh banyak pihak,
namun tidak membuahkan hasil.[21]
Di Amerika Serikat pada tahun 60-an
mulai berkembang dengan apa yang disebut teologi hitam. Yang dititik beratkan
teologi ini adalah melepaskan diri dari teologi kulit putih yang telah
menciptakan seorang Allah sesuai gambar seorang bangsa barat yang kulit putih.
Hal ini merupakan berlawanan dengan agama Kristen yang telah menjadikan Tuhan
sama dengan kebudayaan dipenjajahan bangsa kulit putih, maka teologi hitam yang
mengaku Tuhan yang setia kawan dengan sertiap insan yang tertindas dari ras dan
bangsa apapun, dan yang berada ditengah-tengah penderitaan, penghinaan dan
kematian mereka. Para teolog kulit hitam berbicara tentang Mesias kulit hitam,
Allah yang tertindas dibumi ini, yang bangkit untuk memberi kehidupan dan
harapan kepada semua yang tertindas. Mesias yang berkulit hitam ini yang adalah
orang yang tertindas dari Allah. Kelihatan pada wajah-wajah orang miskin dan
tertindas yang berkulit hitam.[22]
2.3.2. Pemikiran Kristologi
a. James Cone
Ia adalah seorang teolog yang
berkulit hitam dan merupakan orang pertama yang memperkenalkan dan
menyebarluaskan apa yang disebut “Teologi Hitam”. James Cone menuliskan
bahwa “Kristus Amerika itu tidak memiliki ciri rasial, Ia berkulit berkulit
langsat, berambut ikal warna coklat dan kadang-kadang sungguh ajaib memiliki
mata biru. Orang-orang berkulit putih keberatan jika, Ia berbibir tebal, sama
seperti orang Farisi keberatan, jika mereka melihat Dia di suatu pesta bersama oang
pemungut cukai. Namun orang berkulit putih setuju atau tidak Kristus Kristus
berkulit hitam dengan raut muka yang menjijikkan bagi masyarakat kulit putih.”
James Cone mempertanyakan kembali apa artinya keputusan konsili nicea pada
tahun 325 yang menyatakan bahwa Kristus adalah sehakikat dengan Bapa dan
keputusan Chalcedon pada tahun 451, yang menyatakan bahwa kedua kodrat yang
ilahi dan manusiawi, tidak terbagi dan terpisah dan tidak bercampur, dan tidak
berubah. Apa artinya bagi mereka yang melihat Yesus bukan sebagai suatu gagasan
dalam pemikiran, tetapi Yesus yang mereka kenal sebagai juruslamat dan sahabat.
Dalam bukunya The Spirituals and Blues ia menguraikan bahwa Yesus bukanlah
pokok-pokok permasalahan teologis. Ia dilihat dalam kenyataan pengalaman kaum
kulit hitam. Berbicara mengenai Allah Bapa dan Anak adalah dua cara untuk
berbicara tentang kenyataan kehadiran ilahi dalam masyrakat budak. Yang menjadi
pusat keberadaan mereka adalah lambang dari penderitaan mereka. Yesus berada
ditengahnya, sehingga Ia adalah sahabat dan teman penderitaan dalam perbudakan
“Spiritual” itu tidak hanya berbicara tentang apa yang telah dilakukan oleh
Yesus dan sedang dilakukan bagi orang kulit hitam dalam perbudakan. Ia dianggap
sebagai orang yang memegang kunci penghakiman. Yesus dianggap sebagai Raja yang
membebaskan manusia dari penderitaan. Cone menegaskan bahwa Yesus Kristus harus
diakui berdasarkan keberadaan-Nya kini, dalam masa lampau dan dalam waktu yang
akan datang.[23]
b. Gustavo Gutierrez
Ia adalah seorang pendeta di Peru.
Dalam teologinya Gutierrez menyimpulkan bahwa kematian Yesus di kayu salib
bukanlah kematian politis yang konyol. Jadi jelas bahwa ia bukanlah korban dari
revolusi politik melainkan ia mati sebagai situasi kedewasaan manusia. Karena
Yesus mati berjuang untuk pembebasan, memerangi akar dari tatanan yang tidak
adil.[24] Gutierrez
adalah praksis, yaitu menemukan teologi
dari praksis situasi historis. Hal ini diwujudkan melalui partisipasi personal,
menuju masyarakat sosial yang baru dan di dalamnya jelas terlihat solidaritas
yang tinggi. Hal ini berarti bahwa setiap orang harus mampu menerapkan gaya
hidup penbebasan bagi orang yang tertindas. Dan perlu di ingat bahwa Kristus
juga imanen yang artinya tidak hanya hidup dalam sejarah, ia hadir daalm dunia
secara nyata untuk melakukan pembebasan. Inilah fungsi Kristus bagi Gutierrz. Gutierrez
mengartikan “praksis” sebagai segi-segi eksistensial dan aktif dalam kehidupan
Kristen yang mencakup:
· Kasih,
yaitu penyrahan diri kepada Kristus dan kemudian kepada orang lain.
· Spritualitas
dalam bentuk yang berpuncak pengakuan nilai dunia sekuler dan kegiatan Kristen
di dalamnya.
· Segi-segi
antropologis dari pernyataan yang mengalihkan perhatian dari kenyataan
adikodrati kepada manusia dan dunianya.
· Perpinahan
tempat berteologi kepada gereja yang mengambil bagian dalam pergolakan sosial
pada zamannya dengan cara melayani.
· Tanda-tanda
zaman yang melibatkan bukan hanya analisis intelektual, tetapi juga kegiatan
menggembalakan dan melayani.
·
Eskatologi yang memahami peranan gereja
dalam kehidupan manusia.[25]
c.
Leonardo
Boff
Boff adalah seorang teolog Amerika
Latin yang sangat terbuka menggumuli “Kristologi”. Boff berasal dari Brazil.
Pada tahun 1972 ia menulis tentang Kristologi Amerika Latin yang berjudul Yesus
Kristus sang pembebas, suatu Kristologi untuk masa kini. Menurut Boff,
merenungkan dan menghayati kepercayaan kita kepada Yesus Kristus dalam konteks
sosio-historis yang ditandai denga penguasaan dan penindasan, berarti menyembah
Yesus Kristus dan memproklamasikan Dia sebagai pembebas. Kristologi pembebasan
berpihak kepada orang yang tertindas.[26]
2.4.
Benua Afrika
2.4.1. Konteks Pergumulan
Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka orang-orang Afrika bercocok tanam atau
bertani. Orang-orang Barat dari Eropa yang datang ke Afrika, maka Afrika
termasuk kedalam lingkungan ekonomi Barat. Orang-orang Barat yang membuka
tambang-tambang, membangun perkebunan dan membuka pabrik.[27]
Semua agama Afrika percaya kepada Allah Sang Pencipta yang
adalah pemberi kehidupan. Meskipun kepercayaan tradisional Afrika sepakat
dengan Islam dan Kristen bahwa Allah adalah pencipta bumi ini, sebagian besar
percaya bahwa pencipta kita tidak lagi hadir
secara dinamis memelihara bumi dan kehidupan. Fungsi-fungsi tersebut
dilkasanakan oleh roh-roh atau dewa-dewa yang lebih rendah. Mitos-mito
asal-usul dalam masyarakat Afrika melukiskan sebuah zaman keemasan masa lampau
ketika orang-orang hidup dalam hubungan yang tenteram, selaras dengan alam.
Sejumlah mitos menggambarkan Allah sebagai orang yang melakukan pekerjaan bagi
komunitas. Ada juga mitos yang menggambarkan Allah yang benar-benar hadir dan
ikut membantu dalam pekerjaan. Mitos itu menunjukkan hubungan dengan alam yang
dengan adil berjalan sendiri, hidup menurut aturannya sediri.[28]
Orang Afrika sangat sadar akan keterkaitan dalam
masyarakat, menjadi keuarga besar, baik yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal. Artinya, bahwa mereka yang sudah meninngal sebenarnya belum mati,
mereka tetap berperan dalam suka maupun duka, tergantung pada puas tidaknya
pada leluhur keturunan mereka. Dari pihak yang hidup diharapakan, agar mereka
secara teratur mengadakan hubungan dengan saudara-saudaranya melalui doa dan
ritual. Sedangkan orang-orang yang sudah meninggal diharapkan bertindak ramah
dan suka membantu saudara-saudaranya yang masih hidup. Jika mereka marah mereka
dapat mengirimkan malapetaka atas saudara-saudara mereka. Bilamana ini terjadi,
maka keluarga yang bersangkutan akan bersembahyang dan meminta perlindungan
dari leluhur mereka. Raja adat “Chief” dapat
bertindak sebagai perantara mereka dengan leluhur mereka, sebaliknya para
leluhur mereka bertindak sebagai perantara dari yang hidup dengan Allah.[29]
Pada realitas sesungguhnya pada saat
itu orang berasumsi bahwa ketika penyakit datang sebagai akibat dari pelaggaran
suatu pantangan atau akal licik dari roh-roh jahat atau akibat kemarahan roh
nenek moyang. Hal ini bermuara kepada dukun agar dapat mengobati atau menolong
yang terkena penyakit tersbut.[30]
Teologi hitam tidak hanya terdapat di
Amerika Serikat, tetapi juga di Afrika sendiri. Teologi tersebut terutama
terdapat dalam bagian-bagian Afrika, yang pernah atau masih dilanda rasisme
kulit putih atau penjajahan kulit putih. Tentu yang dimaksudkan disini ialah,
apa yang terjadi di Afrika Selatan dan yang dulu disebut Rhodesia.[31]
2.4.2. Pemikiran Tentang Kristologi
Fungsional
a. Jhon Mbiti
Jhon Mbiti adalah seorang teolog
Afrika yang paling berpengaruh. Ia dibesarkan dalam keluarga Kristen di Kenya.
Mbiti belajar di Kenya, Amerika Serikat, dan Eropa.[32]
Mbiti bercerita bahwa orang-orang dari gereja-gereja menaruh perhatian besar
terhadap peristiwa-peristiwa penting dari kehidupan Yesus, seperti
kelahiran-Nya, baptisan, kematian, dan kebangkitan-Nya. Pertama-tama Ia dilihat
sebagai pemenang. Ia melawan dan mengalahkan kuasa iblis, penyakit, kebencian,
ketakutan, bahkan kematian itu sendiri. Yesus dikatakan sebagai pemenang,
karena orang Kristen Afrika sangat peka terhadap berbagai kuasa yang bekerja
dalam hidupnya seperti: roh-roh jahat, kekuatan gaib, sihir, kekuatan,
penyakit, kuasa kejahatan dan yang terutama dari semuanya ialah kematian.[33]
Kaum Kristen Afrika sangat tertarik
pada kelahiran, baptisan, dan baptisan Yesus, karena peristiwa-peristiwa itu
menunjukkan bahwa Yesus manusia sempurna yang telah mengalami rites de passage[34]
yang adalah kewajiban yang mutlak. Itu sebabnya orang Afrika sangat menaruh
minat pada silsilah-Nya yang terdapat dalam Matius 1:1-17 dan Lukas 3:23-38.[35]
b. Paul de Fueter
Salah satu gelar yang diusulkan di
Afrika pada Kristus adalah gelar “chief” yang
dapat diartikan sebagai “kepala suku” atau raja. Paul de Fueter mengatakan,
kami memberitakan tentang Kristus yang sesungguhnya disebut chief”, yaitu raja Afrika. Dia berkuasa,
Dia yang datang oleh kehadiran-Nya segala sesuata dilupakan, dan pada-Nya semua
orang selamat. Namun gelar ini tidak layak, karena yang menjadi chief adalah orang-orang yang sering jauh dari
rakyat dan tidak dapat di dekati oleh mereka.[36]
c. J. S. Pobee
Di Afrika Yesus juga dikenal dengan
gelar “Kristus sebagai leluhur”. Yesus dianggap sebagi leluhur yang besar, atau
leluhur yang terbesar(Nana dalam
bahasa Anka). Menurut Pobee Yesus adalah nana
seperti leluhur lain yang termasyur. Ia adalah hakim yang tak terlupakan, Ia
mengguling leluhur yang lain, karena Dia yang terdekat dengan Allah. Di dalam
penyataan bahwa Yesus adalah nana
terkandung arti bahwa norma-normanya berlaku dalam orientasi pribadi, dalam
struktur masyarakat, dalam perkembangan ekonomi dan hubungan politik. Orang
Afrika yang menyatakan bahwa Yesus adalah nana,
harus membangun pesan itu dengan keadilan manusiawi dan keadilan sosial di
Afrika dan bagian dunia lainnya.[37]
d. M. L. Daneel
Kristus sebagai Dukun atau Nganga juga diberikan orang Afrika
kepada Yesus. Menurut Daneel, di dalam Kristu di satu pihak tradisi nganga menemukan pusat pusat
kegiatannya. Kristus diyakini sebagai tokoh yang berbicara, member
perlindungan, menyembuhkan, dan melenyapkan kekawatiran.[38]
Metode:
Penginjil
dari pihak Afrika itu sendiri mereka memuja dukun, tetapi mereka tidak mereka
tidak tahu siapa dukun itu. Sehingga penginjil menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah dukun. Yesus
Kristus adalah jalan satu-satunya yang tidak ada seorangpun yang dapat sampai
kepada Bapa kalau tidak melalui aku.[39]
2.5.
Benua Asia
2.5.1. Konteks Pergumulan
Berbagai realitas di Asia sangatlah
kompleks, secara sosial, budaya maupun agama, secara ekonomis maupun politis.
Cakupan konteks Asia yang disebut disini adalah meliputi seluruh Asia, yang
meliputi Timur Tengah, Pasifik, dan Australia. Adapun beberapa hal yang khas di
kawasan ini, yaitu:
· Kemajemukan
dan keanekaragaman bangsa, masyarakat, kebudayaan, lembaga-lembaga sosial,
agama, dan ideologi.
· Kebanyakan
Negara di kawasan ini mempunyai pengalaman masa colonial.
· Kebanyakan
Negara di kawasan ini, dewasa ini sedang dalam proses nation building, pembangunan dan modernisasi.
· Rakyat
kawasan ini ingin mencapai jati dirinya yang otentik dan integritas budaya
dalam dunia modern.
· Asia
adala htempat beberapa agama yang hidup dan sedang bangkit kembali, dan agama
tersebut telah membentuk, baik budaya maupun kesadaran, mayoritas luas
orang-orang Asia.
· Rakyat
Asia sedang mencari bentuk tatanan sosial melampaui alternatif-alternatif zaman
sekarang.
· Masyarakat
Kristen adalah minoritas ditengah Asia yang serba kompleks dan luas.
Gambaran-gambaran mengenai Yesus yang
dibawa masuk ke Asia sedemikian rupa terbungkus terbungkus di dalam pelbagai
macam bentuk kritologis sehingga sering kali membuat orang mengabaikan
kenyataan bahwa Yesus sebetulnya berasal dari Asia, atau persisnya dari Asia
Barat. Hampir 1500 tahun diperlukan sebelum bagian Asia lainnya dapat merasakan
dampak sepenuhnya dari kepribadian Yesus dan kepentingan ajaran-Nya. Sejak itu
ada usaha-usaha dari orang Kristen Asia untuk menangkal pemahaman tentang Yesus
yang mutlak-mutlakan, gagah-gagahan, dan menindas. Karangan yang dihimpun
disini adalah contoh dari usaha-uaha yang berani semacam itu. Tulisan-tulisan
yang dimuat disini berusaha untuk meng-Asia-kan dan mengubah kembali Yesus
dengan memakai ungkapan-ungkapan Asia untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Asia
ditempat dan budaya mereka sendiri.[40]
2.5.2. Pemikiran Tentang Kristologi
Fungsional
a. Kazoh Kitamori
Kitamori memberi sumbangan sumbangan
dalam teologinya bahwa penderitaan sebagai hakikat Allah. Menurut Kitamori
penderitaan Allah merupakan inti sari Injil yang mengikrarkan kembali kedalam
pikiran bangsa Jepang, diman Injil harus berbicara pada penderitaan bangsa
Jepang. Kitamori menggabungkan dua kata Jepang tsutsma dan tsurasa
dengan memakkai Yeremia 31:20 dan Yesaya 63:15 dengan dasar teologinya adalah
kesaktian Allah. Dengan menggambarkan kesaktian yang ditanggung demi orang lain
tanpa menunjukkan betapa dalamnya orang itu menderita demi menanggung
penderitaan orang lain dan demi kebahagiaan orang lain.[41]
Kitamori merumuskan pendapat bahwa Allah yang menderita adalah Allah yang
memecahkan penderitaan manusia melalui penderitaan-Nya sendiri. Yesus Kristus
adalah Tuhan yang menyembuhkan luka-luka kita melalui luka-luka-Nya sendiri.[42]
b. S. J. Samarta
Pokok Kristologi dari Samarta,
“Kristus yang tidak terikat”, juga dirumuskan dalam hubungan dengan filsafat
Vedanta. Menurut pandanganya, tidak ada
perhatian untuk kelangsungan dosa, kesalahan dan kematian yang tidak
henti-hentinya dalam kehidupan manusia. Samarta kelihatan ia sering mengutip
dasar Dewan Gereja-gereja se-Dunia, “Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat (Jesus Christ, Lord and Savior)” sebagai
titik tolak Kristologinya. Ia ingin menentukan sikap terhadap
pandangan-pandangan umum seperti, yakni bahwa orang Hindu percaya kepada
Brahman yang tidak berkepribadian, sedangkan orang Kristen percaya kepada Allah
yang berkepribadian. Menurut Samarta tidak mustahil untuk menghubungkan Yesus
dan Brahman di satu pihak, dan di lain pihak dengan dunia. Dengan demikian
sifat pribadi dan Historisnya dimasukkan ke dalam struktur spiritualisme Hindu.[43]
2.6.
Konteks Lokal (Sumatera Utara)
2.6.1. Konteks Pergumulan
Sumatera Utara khususnya di kota
Medan adalah kota yang maju. Di kota ini terdapat banyak suku, budaya, agama,
dan ras. Akan tetapi di balik semua itu ternyata masih banyak terdapat
pergumulan-pergumulan yang selalu ada dan sangat sulit untuk dipecahkan atau
dituntaskan. Salah satu yang dapat kita lihat adalah masalah menganai
kemiskinan. Dikatakan miskin karena seseorang mempunyai ekonomi yang kurang
baik atau dibawah rata-rata. Orang-orang miskin karena system perekonomian yang
ada. Beberapa orang menguasai sarana-sarana produksi dan mereka menggunakannya
untuk memperbesar keuntungan mereka sendiri, dengan membuat orang lain hidup
miskin. Sampai saat ini pertumbuan kaum miskin semakin meningkat. Tak jarang
kaum miskin terjerumus kedalam tindakan kriminalitas seperti mencuri, merampok,
dan terlihat terhadap penyembahan berhala terhadap okultisme. Sebagai catatan
awal perlu dipahami bahwa setelah bangsa Asia lepas dari penjajahan.
Kemerdekaan sering sering dipahami sama dengan kebebasan tanpa kendali, tanpa control
hukum dan undang-undang. Khusus di Indonesia akibatnya adalah kepemimpinan
nasional cenderung tidak stabil, karena adanya persaingan, perebutan kekuasaan
dan saling tidak mempercayai sesama tokoh politik nasional.[44]
2.6.2. Pemikiran Tentang Kristologi
Adapun tokoh-tokohnya adalah S. A. E.
Nababan, Rudolf Pasaribu, dan Jan S Aritonang. Nababan adalah seorang teolog
yang juga memperhatikan konteks tempat berteologi. Nababan mencetuskan teologi
pembangunan di Indonesia. Menurut beliau bahwa kita harus melakukan
pembangunan, dan perlu dipahami teologi pembangunan yang dimaksud dalam hal
ini, seperti pendapat Rudolf Pasaribu bahwa teologi pembangunan menyerukan
suara Allah yang berkumandang dalam situasi pembangunan masyarakat Indonesia.
Pembangunan bukan hanya mencakup kegiatan industri, ekonomi, teknologi,
hubungan internasional, tetapi juga menyangkut hal-hal rohani, agama,
mentalitas, kesadaran, dan tanggungjawab nasional.[45]
Dalam teologi pembangunan, perlu
terlebih dahulu memahami tentang hakikat dan keberadaan Allah yang dinyatakan
dalam berbagai macam tindakan atau perbuatan-Nya di dalam sejarah kehidupan
manusia. Adapun yang menjadi dasar teologi pembangunan adalah:
· Sebagai
pencipta dan pemelihara.
· Sebagai
Tuhan dalam segala waktu dan sejarah dunia.
· Sebagai
Tuhan dalam pembaharuan.
· Sebagai
Tuhan dan pembangunan.[46]
III.
Kesimpulan
Kristologi adalah satu upaya untuk
menjelaskan pokok iman Kristen tentang Yesus Kristus, Kristologi adalah
pemahaman dan kesaksian iman yang diekspresikan melalui refleksi teologis.
Jadi, dapat disebutkan bahwa Kristologi fungsional merupakan penghayatan iman
akan fungsi Kristus dalam konteks kehidupan orang percaya, yaitu
realitas-realitas setiap situasi, yang semuanya menjadi sasaran perubahan.
IV.
Daftar
Pustaka
Api, Paul, Ambang Pintu Theologia,
Jakarta: BPK-GM
Bauckman, Richard, Teologi Mesianis, Jakarta: BPK-GM, 2001
Coe, Shoki, Konstetualisasi Sebagai Jalan Menuju
Pembaharuan, dalam Teologi Kristen Asia, Dougles J. Elwood, terj. B. A.
Abednego, Jakarta: BPK-GM, 2006
de Grucy, Jhon W., Agama Kristen dan Demokrasi, Jakarta:
BPK-GM, 2003
Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris abad ke-20, Jakarta:
BPK-GM, 2002
Hasselgrave, David J.
dan Edward Rommen, Konstektualisasi:
Makna, Metode, dan Model, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 114
Lane, Toni, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 2003
Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen,
Jakarta: BPK-GM, 2009
Lumban Tobing, Darwin, Kristologi Non Apologetis; dalam
Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia,Jakarta: BPK-GM, 2004
Lumintang, Stevri I., Teologi Abu-abu, Malang: Gandum Mas,
2004
Nitiprawiro, Fr.
Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode,
Praksis, dan Isinya, Yogyakarta: LKiS, 2000
Pasaribu, Rudolf, Teologi Pembangunan Dalam Konteks
Perkembangan Indonesia Masa Kini, Medan: Pieter, 1988
Shenk, David W., Ilah-ilah Global, Jakarta: BPK-GM, 2010
Sugirtharajah, R. S., Wajah Yesus di Asia, Jakarta: BPK-GM,
2011
Wellem F. D, Sejarah Singkat Tokoh-tokoh,Jakarta:
BPK-GM, 2003
Wessels, Anton, Memandang Yesus, Jakarta: BPK-GM, 1999
Yewagoe, A. A., Teologi Crusis Asia, Jakarta: BPK-GM,
1996
[1]Darwin
Lumban Tobing, Kristologi Non Apologetis;
dalam Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM,
2004), 45
[2]Shoki
Coe, Konstetualisasi Sebagai Jalan Menuju
Pembaharuan, dalam Teologi Kristen Asia, Dougles J. Elwood, terj. B. A.
Abednego, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 11
[3]
Materialisme adalah paham bahwa alam semesta tidak ada sesuatu yang lain
daripada zat benda yang tertangkap oleh panca indra, Roh, apalagi Allah tidak
ada. Ateisme adalah paham yang menyatakan ketidakpercayaan akan adanya Allah
dalam dunia ini.
[4]
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana;
Sejarah Gereja Ringkas, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 364
[5]
Ibid, 367-368
[6]
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris
abad ke-20, (Jakarta: BPK-GM, 202), 1-5
[7]
Ibid, 10-15
[8]
Paul Apis, Ambang Pintu Theologia,
(Jakarta: BPK-GM), 78
[9]
Romarbrief adalah tafsiran Barth mengenai surat Paulus kepada jemaat di Roma
yang merupakan pperbaikann radikal terhadap liberalism teologis. Barth terutama
mendapati apa yang diajarkan Alkitab. Menurut dia tafsiran yang hanya melihat
masalah setara dengan sejarah belaka
sama sekali belum memulai dan menjelaskan Alkitab.
[10]
Toni Lane, Runtut Pijar, (Jakarta:
BPK-GM, 2oo3), 220
[11]
F. D. Wellem, Sejarah Singkat
Tokoh-tokoh,(Jakarta: BPK-GM, 2003), 288
[12]
Tony Lane, Runtut Pijar, 236-237
[13]
Harun Hadiwijonno, Teologi Reformatoris
abad ke-20, 61
[14]
Tony Lane, Runtut Pijar, 237
[15]
Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran
Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 287-288
[16]
F. D. Wellem, Sejarah Singkat
Tokoh-tokoh, 40-41
[17]
Tony Lane, Runtut Pijar, 227-230
[18]
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana;
Sejarah Gereja Ringkas, 355
[19]
Jhon W. de Grucy, Agama Kristen dan
Demokrasi, (Jakarta: BPK-GM, 2003),
145
[20]
Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-abu
Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2009), 188
[21]
Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-abu, (Malang:
Gandum Mas, 2004), 398
[22]
Richard Bauckman, Teologi Mesianis,
(Jakarta: BPK-GM, 2001), 83
[23]
Ibid,84-86
[24]
Fr. Wahono Nitiprawiro, Teologi
Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, (Yogyakarta: LKiS, 2000),
102
[25]
David J. Hasselgrave dan Edward Rommen, Konstektualisasi:
Makna, Metode, dan Model, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 114
[26]
Anton Wessels, Memandang Yesus, (Jakarta:
BPK-GM, 1999), 70-71
[27]
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana;
Sejarah Gereja Ringkas, 340
[28]
David W. Shenk, Ilah-ilah Global,
(Jakarta: BPK-GM, 2010), 58-61
[29]
Anton Wessels, Memandang Yesus, 74
[30]
Ibid, 92
[31]
Anton Wessels, Memandang Yesus, 86-87$
[32]
David J. Hasselgrave dan Edward Rommen, Konstektualisasi:
Makna, Metode, dan Model, 124
[33]
Anton Wessels, Memandang Yesus, 104
[34]
Rites
de passage adalah adat peralihan mengenai empat tahapan yaitu kelahiran,
penerimaan sebagai anggota penuh (sebagai orang dewasa), pernikahan dan
kematian serta peralihan ke dunia leluhur sehingga seseorang dapat menjadi
manusia yang sempurna yang dapat diterima dalam masyarakat Afrika.
[35]
Ibid, 104
[36]
Ibid, 105
[37]
Ibid, 105-106
[38]
Ibid, 107
[39]
Pardomuan Munthe, Rekaman Catatan,
(Medan: 07 Mei 2013)
[40]
R. S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia,
(Jakarta: BPK-GM, 2011), 1-2
[41]
David J. Hasselgrave dan Edward Rommen, Konstektualisasi:
Makna, Metode, dan Model, 60
[42]
A. A. Yewagoe, Teologi Crusis Asia,
(Jakarta: BPK-GM, 1996), 225
[43]
Anton Wessels, Memandang Yesus,
135-137
[44]
Kristologi Non Apologetis; dalam
Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, 1
[45]
Rudolf Pasaribu, Teologi Pembangunan
Dalam Konteks Perkembangan Indonesia Masa Kini, (Medan: Pieter, 1988), 23
[46]
Rudolf Pasaribu, Teologi Pembangunan
Dalam Konteks Perkembangan Indonesia Masa Kini, 53-54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar