Selasa, 14 Mei 2013

Metodologi Kristologi


Metode Kristologi Fungsional dalam berbagai konteks pergumulan di benua Eropa, benua Amerika, benua Afrika, benua Asia, dan Lokal (Kristus dalam pewartaan Gereja-gereja dan masyarakat Kristen di Sumatera Utara)
I.     Pendahuluan
           Berbicara tentang Kristologi merupakan suatu pembicaraan yang berkaitan dengan Kristus. Dan padapada paper ini Kristus di kontekstualisasikan sesuai dengan konteks yang ada. Konteks pergumulan hidup di dunia ini bebeda-beda. Dalam bahasan kita kali ini kita akan membahas apa, bagaimana, kapan pergumulan-pergumulan untuk memberitakan tentang Kristologi, seperti di benua Eropa, Arika, Afrika, Asia, dan Sumut. Semoga sajian kain dapat menambah wawasan kita.
II.  Pembahasan
2.1. Pengertian Kristologi Fungsional
           Kristologi adalah satu upaya untuk menjelaskan pokok iman Kristen tentang Yesus Kristus, pertanyaan yang membangun mengenai hal ini, yaitu: Siapakah Yesus yang lahir hidup pada waktu dan tempat tertentu itu, yang kemudian di imani sebagai Allah yang menyatakan diri kepada manusia, yang disebut Anak Allah? Kristologi adalah pemahaman dan kesaksian iman yang diekspresikan melalui refleksi teologis.[1] Jadi, dapat disebutkan bahwa Kristologi fungsional merupakan penghayatan iman akan fungsi Kristus dalam konteks kehidupan orang percaya, yaitu realitas-realitas setiap situasi, yang semuanya menjadi sasaran perubahan. [2]
2.2. Benua Eropa
2.2.1.      Konteks Pergumulan
           Pada  abad ke-19 di Eropa terjadilah urbanisasi dan industrialisasi. Kaum buruh merasa tertindas oleh golongan yang menguasai kehidupan ekonomis dan politis. Kaum buruh sudah tidak lagi begitu memperdulikan gereja dan iman Kristen. Lalu datanglah Karl Marx yang menganjurkan sosialisme kepada mereka yang digabungkannya dengan ateisme dan materialism.[3] Terutama kaum buruh di Eropa kaum buruh terasing dari gereja oleh karena sudah memiliki persekutuan yang baru, yaitu partai, etika yang baru, yaitu pergumulan kelas, dan sorga yang baru yaitu masyarakat yang baru menurut Marx, akan diwujudkan sesudah revolusi yang besar.[4]
           Di salah satu bagian wilayah di benua Eropa yang menggambarkan keadaan sosial adalah kota London. Banyak orang hidup melarat, ada banyak pemabuk dan pelacur. Di kota London dalam waktu satu tahun terdapat 2.157 orang mati begitu saja dijalanan, 2.297 yang bunuh diri, 30.000 wanita pelacur, 160.000 orang dihukum karena mabuk di jalan umum, dan 900.000 orang yang melarat, anak-anak gelandangan, orang-orang yang kelaparan.[5]
           Tidak dapat di sangkal bahwa terjadinya konteks pergumulan di Eropa di awali dengan  terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan, dimana mereka mengandalkan akal pikiran atau rasio yang pada akhirnya mereka makin lama mendewa-dewakan pikiran dan akhirnya mereka juga menghadapi pemikiran filsafat, yang semakin lama semakin memasuki pemikiran Kristiani. Pada abad ke-18 yang ditandai dengan perhatian umum terhadap ilmu pengetahuan yang makin lama makin bertambah maju, dan oleh perkembangan pemikiran masyarakat dengan munculnya ilmu ketatanegaraan yang rasional.[6]
           Pada abad ke-19 berkembang berkembang usaha untuk mengetahui Yesus dan apa yang diperbuat Yesus. Yesus yang diberitakan sejarah bukan seperti yang diberitakan oleh Alkitab. Para peneliti berusaha untuk meneliti gambaran yang bermacam-macam mengenai Yesus, yang didasarkan pada sumber historis, tetapi pada pandangan dunia masing-masing.[7] Namun selama modernisasi ditandai oleh penyempitan rasional yang sebenarnya meragukan dan kurang menghargai orang lain. Pandangan yang menganggap Yesus sebagai manusia belaka yang mencirikan teologi Inggris tidak banyak menolong.[8] Sehingga permasalahan tentang Kristologi berkembang hingga saat ini dan memunculkan banyak pandangan-pandangan dari tokoh-tokoh di Eropa.
2.2.2.      Pemikiran Tentang Kristologi Fungsional
a.    Karl Barth
           Karl Barth lahir di Basel pada tahun 1886, anak sulung dari gembala jemaat Calinis. Setelah belajar di Universitas Bern. Pendidikan teologinya sebagian besar ditempuhnya di Jerman pada berbagai Universitasseperti Universitas Berlin, Tubingan, Marburg. Ia menjadi pendeta Calvinis di Swiss. Adapun karyanya yang terkenal adalah Romerbrief.[9] Barth menjadi pemimpin reaksi ortodoksi baru terhadap liberalism pada abad ke-19.[10]
           Jika teologi abad ke-20 meniadakan jarak antara Allah dan manusia, maka teologi Karl Barth mempertahankan dengan gigih adanya jarak yang tidak terjangkau oleh manusia dengan Tuhan Allah. Ia mengajarkan bahwa Allah berada pada tempat yang sama sekali tidak terjangkau oleh manusia. Manusi hanya dapat berbicara tentang Tuhan secara diakletis. Artinya dengan cara mengaatakan dua hal yang kelihatn bertentangan, tetapi satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Karya monumentalnya yang besar adalah “dogmatika gerejawi”. Dalam bukunya ini Barth menempatkan dirinya dibawah wibawa Firman Allah. Ia tidak membedakan antara penyataan Allah dan Firman Allah. Keduanya adalah satu, sebab penyataan Allah itu tidak lain dari pada Kristus sendiri. Ia sangat menekankan Kristus dalam penguraian pandangan teologinya sehingga dapat dikatakan teologinya adalah Kristologi. Kristologinya dimulai dari pra-eksistensi Kristus. Kristus menjadi menjadi pokok yang besar dalam teologinya. Tuhan Allah telah menyatakan anugerahnya dalam Yesus Kristus, pemilihan manusia ditentukan pada pemilihan Tuhan Allah terhadap Kristuts. Allah memilih Kristus berarti sekaligus Allah memilih manusia sebagai sekutunya.[11]
b.    Rudolf Bultmann
           Rudolf Bultman lahir pada tahun 1884 di Wefelstede dekat Oldensburg, di Jerman. Ia belajar teologi di Universitas Tubingen, Berlin, dan Marburg. Bultmann merupakan pakar Perjanjian Baru daripada teolog[12] dan seorang ahli piker sistematis. Bultmann mencoba untuk mengembangkan warisan teologi liberal, yaitu pikiran historis kritis guna melayani gereja. Segala usahanya itu didasarkan atas pembaharuan yang telah dilakukan oleh teologi diakletis.[13] Bultmann menganalisa cerita-cerita Injil dan menggolongkannya dalam berbagai tipe dan bentuk. Dengan demikian ia hendak menentukan benar tidaknya secara historis. Bultmann sampai pada kesimpulann bahwa kebanyakan ucapan Yesus yang tercatat tidak berasal dari Yesus sendiri, tetapi dari kehidupan jemaat-jemaat Kristen purba. Liberalisme abad ke-20 dengan yakin merekontruksikan suatu gambaran Yesus yang historis, Yesus sebagaimana adanya, yang kemungkinan ternyata merupakan seorang Kristen liberal yang baik.[14] Mennurut Bultmann iman tidak bisa timbul oleh ilmu pengetahuan atau sejarah, iman dapat timbul hanya melalui suatu cara mengenal yang khusus, melalui Firman Allah atau Roh-Nya. Karena pengakuan akan Kristus sebagai Firman Allah tidak bergantung pada pengetahuan historis. Bultmann menyimpulkan bahwa semakin sedikit mengenal Yesus itu semakin baik.[15]
c.     Dietrich Boenhoeffer
           Boenhoeffer dilahirkan pada tanggal 4 Februari 1906 di Breslau, Jerman. Pada usia 17 tahun dia telah memasuki Universitas Tubingen dan studi teologinya dilanjutkannya di Berlin. Ia adalah seorang yang mengamati perkembangan politik di Jerman. Ia menentang kekuasaan Hitler dengan Nazinya. Akibatnya dia sering ditegur pemerintahan Jerman. Dia ditangkap dan dipenjarakan di Berkin dan pada April 1945 ia dihukum mati di Flossenburg. Kata-katanya yang terakhir adalah “ini adalah yang terakhir dari semuanya, tetapi bagiku ini adalah awal dari kehiduan”.[16] Karya Boenhoeffer yang terkenal adalah “mengikut Yesus” atau Noachfolge. Kasih karunia yang murah bertolak dari kenyataan bahwa orang Kristen sejati pun tetap berdosa lalu menggunakan fakta ini membenarkan kehidupan orang berdosa. Setiap usaha untuk hidup sebagai murid dicap sebagai legalisme atau kegairahan. Boenhoeffer mengusulkan “kekristenan tanpa agama” artinya kita harus melihat bahwa Yesus Kristus sebagai “Tuhan orang yang tidak beragama”. Ia ingin membersihkan orang Kristen dari segi-segi tertentu dari keragaman yang bersifat borjuis dan picik. Baginya gereja harus mengikuti teladan Yesus “manusia bagi orang lain”.[17]
d.    Paul Tillich
           Paul Tillich dilahirkan di Brandenburg, Jerman pada tahun 1886. Dalam Kristologi, Paul Tillich bertolak dari situasi manusia. Yesus Kristus adalah gambar kemanusiaan yang hakiki sudah terwujud dibawah kondisi-kondisi eksistensi. Yesus adalah manusia yang tidak lagi hidup di dalam persaingan diri sendiri, melainkan dalam kesatuan dengan diri sendiri, dunia, dan terutama dengan Allah. Fungsi Kristus adalah membawa keadaan baru.
2.3. Benua Amerika
2.3.1.      Konteks Pergumulan
           Amerika Serikat adalah negara pertama, dimana gereja menjadi dipisahkan dengan negara. Gereja-gereja tidak mendapat dukungan apapun dari negara, dan negara tidak mencampuri urusan gereja-gereja. Dan salah satu cirri khas Kekristenan di Amerika adalah banyaknya kelompok yang sangat menekankan satu pokok ajaran sambil menolak sesama  orang Kristen yang tidak menerima ajaran itu.[18]
           Bagi kaum tertindas didunia bukan ideologi demokratis yang dikagumi melainkan demokrasi yang terungkap dalam perjuangan kaum kulit putih demi hak-hak dan demokratis. Banyak gerakan-gerakan yang pada saat itu berusaha dalam perjuangan hak-hak sipil dewmi pembebasan. Konfrensi kepemimpinan Kristen selatan yang yang didirikan pada tahun 1957 dipimpin oleh Marthin Luther King menggelar aksi protes selama 382 hari.[19]
           Kaum kapitalisme, golongan orang yang sangat kaya yang menggunakan kekayaannya untuk menguasai kaum yang lemah yang menindas rakyat dan yang bersenang-senang diatas penderitaan kaum lemah. Negara Ameriks mengalami kemelaratan yang disebabkan kemiskinan, dan keterbelakangan oleh karena penindasan (rezim pemerintahan rakyat).[20]
           Amerika Latin merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya alam, namun penduduknya dikepung oleh kemelaratan. Kekayaan Negara-negara Amerika Latin hanya dinikmati oleh sekelompok orang yang menerapkan sistim maciavelly, yaitu mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara. Hal ini sama artinya dengan memperkaya diri dengan cara mengorbankan orang lain, kaum lemah. Upaya untuk mengatasi kemelaratan di Amerika Latin telah diupayakan oleh banyak pihak, namun tidak membuahkan hasil.[21]
           Di Amerika Serikat pada tahun 60-an mulai berkembang dengan apa yang disebut teologi hitam. Yang dititik beratkan teologi ini adalah melepaskan diri dari teologi kulit putih yang telah menciptakan seorang Allah sesuai gambar seorang bangsa barat yang kulit putih. Hal ini merupakan berlawanan dengan agama Kristen yang telah menjadikan Tuhan sama dengan kebudayaan dipenjajahan bangsa kulit putih, maka teologi hitam yang mengaku Tuhan yang setia kawan dengan sertiap insan yang tertindas dari ras dan bangsa apapun, dan yang berada ditengah-tengah penderitaan, penghinaan dan kematian mereka. Para teolog kulit hitam berbicara tentang Mesias kulit hitam, Allah yang tertindas dibumi ini, yang bangkit untuk memberi kehidupan dan harapan kepada semua yang tertindas. Mesias yang berkulit hitam ini yang adalah orang yang tertindas dari Allah. Kelihatan pada wajah-wajah orang miskin dan tertindas yang berkulit hitam.[22]
2.3.2.      Pemikiran Kristologi
a.      James Cone
           Ia adalah seorang teolog yang berkulit hitam dan merupakan orang pertama yang memperkenalkan dan menyebarluaskan apa yang disebut Teologi Hitam”. James Cone menuliskan bahwa “Kristus Amerika itu tidak memiliki ciri rasial, Ia berkulit berkulit langsat, berambut ikal warna coklat dan kadang-kadang sungguh ajaib memiliki mata biru. Orang-orang berkulit putih keberatan jika, Ia berbibir tebal, sama seperti orang Farisi keberatan, jika mereka melihat Dia di suatu pesta bersama oang pemungut cukai. Namun orang berkulit putih setuju atau tidak Kristus Kristus berkulit hitam dengan raut muka yang menjijikkan bagi masyarakat kulit putih.” James Cone mempertanyakan kembali apa artinya keputusan konsili nicea pada tahun 325 yang menyatakan bahwa Kristus adalah sehakikat dengan Bapa dan keputusan Chalcedon pada tahun 451, yang menyatakan bahwa kedua kodrat yang ilahi dan manusiawi, tidak terbagi dan terpisah dan tidak bercampur, dan tidak berubah. Apa artinya bagi mereka yang melihat Yesus bukan sebagai suatu gagasan dalam pemikiran, tetapi Yesus yang mereka kenal sebagai juruslamat dan sahabat.
           Dalam bukunya The Spirituals and Blues ia menguraikan bahwa Yesus bukanlah pokok-pokok permasalahan teologis. Ia dilihat dalam kenyataan pengalaman kaum kulit hitam. Berbicara mengenai Allah Bapa dan Anak adalah dua cara untuk berbicara tentang kenyataan kehadiran ilahi dalam masyrakat budak. Yang menjadi pusat keberadaan mereka adalah lambang dari penderitaan mereka. Yesus berada ditengahnya, sehingga Ia adalah sahabat dan teman penderitaan dalam perbudakan “Spiritual” itu tidak hanya berbicara tentang apa yang telah dilakukan oleh Yesus dan sedang dilakukan bagi orang kulit hitam dalam perbudakan. Ia dianggap sebagai orang yang memegang kunci penghakiman. Yesus dianggap sebagai Raja yang membebaskan manusia dari penderitaan. Cone menegaskan bahwa Yesus Kristus harus diakui berdasarkan keberadaan-Nya kini, dalam masa lampau dan dalam waktu yang akan datang.[23]
b.      Gustavo Gutierrez
           Ia adalah seorang pendeta di Peru. Dalam teologinya Gutierrez menyimpulkan bahwa kematian Yesus di kayu salib bukanlah kematian politis yang konyol. Jadi jelas bahwa ia bukanlah korban dari revolusi politik melainkan ia mati sebagai situasi kedewasaan manusia. Karena Yesus mati berjuang untuk pembebasan, memerangi akar dari tatanan yang tidak adil.[24] Gutierrez adalah praksis, yaitu menemukan  teologi dari praksis situasi historis. Hal ini diwujudkan melalui partisipasi personal, menuju masyarakat sosial yang baru dan di dalamnya jelas terlihat solidaritas yang tinggi. Hal ini berarti bahwa setiap orang harus mampu menerapkan gaya hidup penbebasan bagi orang yang tertindas. Dan perlu di ingat bahwa Kristus juga imanen yang artinya tidak hanya hidup dalam sejarah, ia hadir daalm dunia secara nyata untuk melakukan pembebasan. Inilah fungsi Kristus bagi Gutierrz. Gutierrez mengartikan “praksis” sebagai segi-segi eksistensial dan aktif dalam kehidupan Kristen yang mencakup:
·       Kasih, yaitu penyrahan diri kepada Kristus dan kemudian kepada orang lain.
·       Spritualitas dalam bentuk yang berpuncak pengakuan nilai dunia sekuler dan kegiatan Kristen di dalamnya.
·       Segi-segi antropologis dari pernyataan yang mengalihkan perhatian dari kenyataan adikodrati kepada manusia dan dunianya.
·       Perpinahan tempat berteologi kepada gereja yang mengambil bagian dalam pergolakan sosial pada zamannya dengan cara melayani.
·       Tanda-tanda zaman yang melibatkan bukan hanya analisis intelektual, tetapi juga kegiatan menggembalakan dan melayani.
·       Eskatologi yang memahami peranan gereja dalam kehidupan manusia.[25]
c.       Leonardo Boff
           Boff adalah seorang teolog Amerika Latin yang sangat terbuka menggumuli “Kristologi”. Boff berasal dari Brazil. Pada tahun 1972 ia menulis tentang Kristologi Amerika Latin yang berjudul Yesus Kristus sang pembebas, suatu Kristologi untuk masa kini. Menurut Boff, merenungkan dan menghayati kepercayaan kita kepada Yesus Kristus dalam konteks sosio-historis yang ditandai denga penguasaan dan penindasan, berarti menyembah Yesus Kristus dan memproklamasikan Dia sebagai pembebas. Kristologi pembebasan berpihak kepada orang yang tertindas.[26]
2.4. Benua Afrika
2.4.1.      Konteks Pergumulan
           Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka orang-orang Afrika bercocok tanam atau bertani. Orang-orang Barat dari Eropa yang datang ke Afrika, maka Afrika termasuk kedalam lingkungan ekonomi Barat. Orang-orang Barat yang membuka tambang-tambang, membangun perkebunan dan membuka pabrik.[27]
           Semua agama Afrika percaya kepada Allah Sang Pencipta yang adalah pemberi kehidupan. Meskipun kepercayaan tradisional Afrika sepakat dengan Islam dan Kristen bahwa Allah adalah pencipta bumi ini, sebagian besar percaya bahwa pencipta kita tidak lagi hadir  secara dinamis memelihara bumi dan kehidupan. Fungsi-fungsi tersebut dilkasanakan oleh roh-roh atau dewa-dewa yang lebih rendah. Mitos-mito asal-usul dalam masyarakat Afrika melukiskan sebuah zaman keemasan masa lampau ketika orang-orang hidup dalam hubungan yang tenteram, selaras dengan alam. Sejumlah mitos menggambarkan Allah sebagai orang yang melakukan pekerjaan bagi komunitas. Ada juga mitos yang menggambarkan Allah yang benar-benar hadir dan ikut membantu dalam pekerjaan. Mitos itu menunjukkan hubungan dengan alam yang dengan adil berjalan sendiri, hidup menurut aturannya sediri.[28]
           Orang Afrika sangat sadar akan keterkaitan dalam masyarakat, menjadi keuarga besar, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Artinya, bahwa mereka yang sudah meninngal sebenarnya belum mati, mereka tetap berperan dalam suka maupun duka, tergantung pada puas tidaknya pada leluhur keturunan mereka. Dari pihak yang hidup diharapakan, agar mereka secara teratur mengadakan hubungan dengan saudara-saudaranya melalui doa dan ritual. Sedangkan orang-orang yang sudah meninggal diharapkan bertindak ramah dan suka membantu saudara-saudaranya yang masih hidup. Jika mereka marah mereka dapat mengirimkan malapetaka atas saudara-saudara mereka. Bilamana ini terjadi, maka keluarga yang bersangkutan akan bersembahyang dan meminta perlindungan dari leluhur mereka. Raja adat “Chief” dapat bertindak sebagai perantara mereka dengan leluhur mereka, sebaliknya para leluhur mereka bertindak sebagai perantara dari yang hidup dengan Allah.[29]
           Pada realitas sesungguhnya pada saat itu orang berasumsi bahwa ketika penyakit datang sebagai akibat dari pelaggaran suatu pantangan atau akal licik dari roh-roh jahat atau akibat kemarahan roh nenek moyang. Hal ini bermuara kepada dukun agar dapat mengobati atau menolong yang terkena penyakit tersbut.[30]
           Teologi hitam tidak hanya terdapat di Amerika Serikat, tetapi juga di Afrika sendiri. Teologi tersebut terutama terdapat dalam bagian-bagian Afrika, yang pernah atau masih dilanda rasisme kulit putih atau penjajahan kulit putih. Tentu yang dimaksudkan disini ialah, apa yang terjadi di Afrika Selatan dan yang dulu disebut Rhodesia.[31]
2.4.2.      Pemikiran Tentang Kristologi Fungsional
a.      Jhon Mbiti
           Jhon Mbiti adalah seorang teolog Afrika yang paling berpengaruh. Ia dibesarkan dalam keluarga Kristen di Kenya. Mbiti belajar di Kenya, Amerika Serikat, dan Eropa.[32] Mbiti bercerita bahwa orang-orang dari gereja-gereja menaruh perhatian besar terhadap peristiwa-peristiwa penting dari kehidupan Yesus, seperti kelahiran-Nya, baptisan, kematian, dan kebangkitan-Nya. Pertama-tama Ia dilihat sebagai pemenang. Ia melawan dan mengalahkan kuasa iblis, penyakit, kebencian, ketakutan, bahkan kematian itu sendiri. Yesus dikatakan sebagai pemenang, karena orang Kristen Afrika sangat peka terhadap berbagai kuasa yang bekerja dalam hidupnya seperti: roh-roh jahat, kekuatan gaib, sihir, kekuatan, penyakit, kuasa kejahatan dan yang terutama dari semuanya ialah kematian.[33]
           Kaum Kristen Afrika sangat tertarik pada kelahiran, baptisan, dan baptisan Yesus, karena peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa Yesus manusia sempurna yang telah mengalami rites de passage[34] yang adalah kewajiban yang mutlak. Itu sebabnya orang Afrika sangat menaruh minat pada silsilah-Nya yang terdapat dalam Matius 1:1-17 dan Lukas 3:23-38.[35]
b.      Paul de Fueter
           Salah satu gelar yang diusulkan di Afrika pada Kristus adalah gelar “chief” yang dapat diartikan sebagai “kepala suku” atau raja. Paul de Fueter mengatakan, kami memberitakan tentang Kristus yang sesungguhnya disebut chief”, yaitu raja Afrika. Dia berkuasa, Dia yang datang oleh kehadiran-Nya segala sesuata dilupakan, dan pada-Nya semua orang selamat. Namun gelar ini tidak layak, karena yang menjadi chief  adalah orang-orang yang sering jauh dari rakyat dan tidak dapat di dekati oleh mereka.[36]
c.       J. S. Pobee
           Di Afrika Yesus juga dikenal dengan gelar “Kristus sebagai leluhur”. Yesus dianggap sebagi leluhur yang besar, atau leluhur yang terbesar(Nana dalam bahasa Anka). Menurut Pobee Yesus adalah nana seperti leluhur lain yang termasyur. Ia adalah hakim yang tak terlupakan, Ia mengguling leluhur yang lain, karena Dia yang terdekat dengan Allah. Di dalam penyataan bahwa Yesus adalah nana terkandung arti bahwa norma-normanya berlaku dalam orientasi pribadi, dalam struktur masyarakat, dalam perkembangan ekonomi dan hubungan politik. Orang Afrika yang menyatakan bahwa Yesus adalah nana, harus membangun pesan itu dengan keadilan manusiawi dan keadilan sosial di Afrika dan bagian dunia lainnya.[37]
d.      M. L. Daneel
           Kristus sebagai Dukun atau Nganga juga diberikan orang Afrika kepada Yesus. Menurut Daneel, di dalam Kristu di satu pihak tradisi nganga menemukan pusat pusat kegiatannya. Kristus diyakini sebagai tokoh yang berbicara, member perlindungan, menyembuhkan, dan melenyapkan kekawatiran.[38]
Metode:
Penginjil dari pihak Afrika itu sendiri mereka memuja dukun, tetapi mereka tidak mereka tidak tahu siapa dukun itu. Sehingga penginjil menyatakan  bahwa Yesus Kristus adalah dukun. Yesus Kristus adalah jalan satu-satunya yang tidak ada seorangpun yang dapat sampai kepada Bapa kalau tidak melalui aku.[39]
2.5. Benua Asia
2.5.1.      Konteks Pergumulan
           Berbagai realitas di Asia sangatlah kompleks, secara sosial, budaya maupun agama, secara ekonomis maupun politis. Cakupan konteks Asia yang disebut disini adalah meliputi seluruh Asia, yang meliputi Timur Tengah, Pasifik, dan Australia. Adapun beberapa hal yang khas di kawasan ini, yaitu:
·       Kemajemukan dan keanekaragaman bangsa, masyarakat, kebudayaan, lembaga-lembaga sosial, agama, dan ideologi.
·       Kebanyakan Negara di kawasan ini mempunyai pengalaman masa colonial.
·       Kebanyakan Negara di kawasan ini, dewasa ini sedang dalam proses nation building, pembangunan dan modernisasi.
·       Rakyat kawasan ini ingin mencapai jati dirinya yang otentik dan integritas budaya dalam dunia modern.
·       Asia adala htempat beberapa agama yang hidup dan sedang bangkit kembali, dan agama tersebut telah membentuk, baik budaya maupun kesadaran, mayoritas luas orang-orang Asia.
·       Rakyat Asia sedang mencari bentuk tatanan sosial melampaui alternatif-alternatif zaman sekarang.
·       Masyarakat Kristen adalah minoritas ditengah Asia yang serba kompleks dan luas.
           Gambaran-gambaran mengenai Yesus yang dibawa masuk ke Asia sedemikian rupa terbungkus terbungkus di dalam pelbagai macam bentuk kritologis sehingga sering kali membuat orang mengabaikan kenyataan bahwa Yesus sebetulnya berasal dari Asia, atau persisnya dari Asia Barat. Hampir 1500 tahun diperlukan sebelum bagian Asia lainnya dapat merasakan dampak sepenuhnya dari kepribadian Yesus dan kepentingan ajaran-Nya. Sejak itu ada usaha-usaha dari orang Kristen Asia untuk menangkal pemahaman tentang Yesus yang mutlak-mutlakan, gagah-gagahan, dan menindas. Karangan yang dihimpun disini adalah contoh dari usaha-uaha yang berani semacam itu. Tulisan-tulisan yang dimuat disini berusaha untuk meng-Asia-kan dan mengubah kembali Yesus dengan memakai ungkapan-ungkapan Asia untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Asia ditempat dan budaya mereka sendiri.[40]
2.5.2.      Pemikiran Tentang Kristologi Fungsional
a.      Kazoh Kitamori
           Kitamori memberi sumbangan sumbangan dalam teologinya bahwa penderitaan sebagai hakikat Allah. Menurut Kitamori penderitaan Allah merupakan inti sari Injil yang mengikrarkan kembali kedalam pikiran bangsa Jepang, diman Injil harus berbicara pada penderitaan bangsa Jepang. Kitamori menggabungkan dua kata Jepang tsutsma dan tsurasa dengan memakkai Yeremia 31:20 dan Yesaya 63:15 dengan dasar teologinya adalah kesaktian Allah. Dengan menggambarkan kesaktian yang ditanggung demi orang lain tanpa menunjukkan betapa dalamnya orang itu menderita demi menanggung penderitaan orang lain dan demi kebahagiaan orang lain.[41] Kitamori merumuskan pendapat bahwa Allah yang menderita adalah Allah yang memecahkan penderitaan manusia melalui penderitaan-Nya sendiri. Yesus Kristus adalah Tuhan yang menyembuhkan luka-luka kita melalui luka-luka-Nya sendiri.[42]
b.      S. J. Samarta
           Pokok Kristologi dari Samarta, “Kristus yang tidak terikat”, juga dirumuskan dalam hubungan dengan filsafat Vedanta.  Menurut pandanganya, tidak ada perhatian untuk kelangsungan dosa, kesalahan dan kematian yang tidak henti-hentinya dalam kehidupan manusia. Samarta kelihatan ia sering mengutip dasar Dewan Gereja-gereja se-Dunia, “Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat (Jesus Christ, Lord and Savior)” sebagai titik tolak Kristologinya. Ia ingin menentukan sikap terhadap pandangan-pandangan umum seperti, yakni bahwa orang Hindu percaya kepada Brahman yang tidak berkepribadian, sedangkan orang Kristen percaya kepada Allah yang berkepribadian. Menurut Samarta tidak mustahil untuk menghubungkan Yesus dan Brahman di satu pihak, dan di lain pihak dengan dunia. Dengan demikian sifat pribadi dan Historisnya dimasukkan ke dalam struktur spiritualisme Hindu.[43]

2.6. Konteks Lokal (Sumatera Utara)
2.6.1.      Konteks Pergumulan
           Sumatera Utara khususnya di kota Medan adalah kota yang maju. Di kota ini terdapat banyak suku, budaya, agama, dan ras. Akan tetapi di balik semua itu ternyata masih banyak terdapat pergumulan-pergumulan yang selalu ada dan sangat sulit untuk dipecahkan atau dituntaskan. Salah satu yang dapat kita lihat adalah masalah menganai kemiskinan. Dikatakan miskin karena seseorang mempunyai ekonomi yang kurang baik atau dibawah rata-rata. Orang-orang miskin karena system perekonomian yang ada. Beberapa orang menguasai sarana-sarana produksi dan mereka menggunakannya untuk memperbesar keuntungan mereka sendiri, dengan membuat orang lain hidup miskin. Sampai saat ini pertumbuan kaum miskin semakin meningkat. Tak jarang kaum miskin terjerumus kedalam tindakan kriminalitas seperti mencuri, merampok, dan terlihat terhadap penyembahan berhala terhadap okultisme. Sebagai catatan awal perlu dipahami bahwa setelah bangsa Asia lepas dari penjajahan. Kemerdekaan sering sering dipahami sama dengan kebebasan tanpa kendali, tanpa control hukum dan undang-undang. Khusus di Indonesia akibatnya adalah kepemimpinan nasional cenderung tidak stabil, karena adanya persaingan, perebutan kekuasaan dan saling tidak mempercayai sesama tokoh politik nasional.[44]
2.6.2.      Pemikiran Tentang Kristologi
           Adapun tokoh-tokohnya adalah S. A. E. Nababan, Rudolf Pasaribu, dan Jan S Aritonang. Nababan adalah seorang teolog yang juga memperhatikan konteks tempat berteologi. Nababan mencetuskan teologi pembangunan di Indonesia. Menurut beliau bahwa kita harus melakukan pembangunan, dan perlu dipahami teologi pembangunan yang dimaksud dalam hal ini, seperti pendapat Rudolf Pasaribu bahwa teologi pembangunan menyerukan suara Allah yang berkumandang dalam situasi pembangunan masyarakat Indonesia. Pembangunan bukan hanya mencakup kegiatan industri, ekonomi, teknologi, hubungan internasional, tetapi juga menyangkut hal-hal rohani, agama, mentalitas, kesadaran, dan tanggungjawab nasional.[45]
           Dalam teologi pembangunan, perlu terlebih dahulu memahami tentang hakikat dan keberadaan Allah yang dinyatakan dalam berbagai macam tindakan atau perbuatan-Nya di dalam sejarah kehidupan manusia. Adapun yang menjadi dasar teologi pembangunan adalah:
·       Sebagai pencipta dan pemelihara.
·       Sebagai Tuhan dalam segala waktu dan sejarah dunia.
·       Sebagai Tuhan dalam pembaharuan.
·       Sebagai Tuhan dan pembangunan.[46]
III.             Kesimpulan
           Kristologi adalah satu upaya untuk menjelaskan pokok iman Kristen tentang Yesus Kristus, Kristologi adalah pemahaman dan kesaksian iman yang diekspresikan melalui refleksi teologis. Jadi, dapat disebutkan bahwa Kristologi fungsional merupakan penghayatan iman akan fungsi Kristus dalam konteks kehidupan orang percaya, yaitu realitas-realitas setiap situasi, yang semuanya menjadi sasaran perubahan.
IV.             Daftar Pustaka
Api, Paul, Ambang Pintu Theologia, Jakarta: BPK-GM
Bauckman, Richard, Teologi Mesianis, Jakarta: BPK-GM, 2001
Coe, Shoki, Konstetualisasi Sebagai Jalan Menuju Pembaharuan, dalam Teologi Kristen Asia, Dougles J. Elwood, terj. B. A. Abednego, Jakarta: BPK-GM, 2006
de Grucy, Jhon W., Agama Kristen dan Demokrasi, Jakarta: BPK-GM, 2003
Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris abad ke-20, Jakarta: BPK-GM, 2002
Hasselgrave, David J. dan Edward Rommen, Konstektualisasi: Makna, Metode, dan Model, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 114
Lane, Toni, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 2003
Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2009
Lumban Tobing, Darwin, Kristologi Non Apologetis; dalam Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia,Jakarta: BPK-GM, 2004
Lumintang, Stevri I., Teologi Abu-abu, Malang: Gandum Mas, 2004
Nitiprawiro, Fr. Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta: LKiS, 2000
Pasaribu, Rudolf, Teologi Pembangunan Dalam Konteks Perkembangan Indonesia Masa Kini, Medan: Pieter, 1988
Shenk, David W., Ilah-ilah Global, Jakarta: BPK-GM, 2010
Sugirtharajah, R. S., Wajah Yesus di Asia, Jakarta: BPK-GM, 2011
Wellem F. D, Sejarah Singkat Tokoh-tokoh,Jakarta: BPK-GM, 2003
Wessels, Anton, Memandang Yesus, Jakarta: BPK-GM, 1999
Yewagoe, A. A., Teologi Crusis Asia, Jakarta: BPK-GM, 1996



[1]Darwin Lumban Tobing, Kristologi Non Apologetis; dalam Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 45
[2]Shoki Coe, Konstetualisasi Sebagai Jalan Menuju Pembaharuan, dalam Teologi Kristen Asia, Dougles J. Elwood, terj. B. A. Abednego, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 11
[3] Materialisme adalah paham bahwa alam semesta tidak ada sesuatu yang lain daripada zat benda yang tertangkap oleh panca indra, Roh, apalagi Allah tidak ada. Ateisme adalah paham yang menyatakan ketidakpercayaan akan adanya Allah dalam dunia ini.
[4] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana; Sejarah Gereja Ringkas, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 364
[5] Ibid, 367-368
[6] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke-20, (Jakarta: BPK-GM, 202), 1-5
[7] Ibid, 10-15
[8] Paul Apis, Ambang Pintu Theologia, (Jakarta: BPK-GM), 78
[9] Romarbrief adalah tafsiran Barth mengenai surat Paulus kepada jemaat di Roma yang merupakan pperbaikann radikal terhadap liberalism teologis. Barth terutama mendapati apa yang diajarkan Alkitab. Menurut dia tafsiran yang hanya melihat masalah setara  dengan sejarah belaka sama sekali belum memulai dan menjelaskan Alkitab.
[10] Toni Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK-GM, 2oo3), 220
[11] F. D. Wellem, Sejarah Singkat Tokoh-tokoh,(Jakarta: BPK-GM, 2003), 288
[12] Tony Lane, Runtut Pijar, 236-237
[13] Harun Hadiwijonno, Teologi Reformatoris abad ke-20, 61
[14] Tony Lane, Runtut Pijar, 237
[15] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 287-288
[16] F. D. Wellem, Sejarah Singkat Tokoh-tokoh, 40-41
[17] Tony Lane, Runtut Pijar, 227-230
[18] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana; Sejarah Gereja Ringkas, 355
[19] Jhon W. de Grucy, Agama Kristen dan Demokrasi,  (Jakarta: BPK-GM, 2003), 145
[20] Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2009), 188
[21] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-abu, (Malang: Gandum Mas, 2004), 398
[22] Richard Bauckman, Teologi Mesianis, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 83
[23] Ibid,84-86
[24] Fr. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, (Yogyakarta: LKiS, 2000), 102
[25] David J. Hasselgrave dan Edward Rommen, Konstektualisasi: Makna, Metode, dan Model, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 114
[26] Anton Wessels, Memandang Yesus, (Jakarta: BPK-GM, 1999), 70-71
[27] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana; Sejarah Gereja Ringkas, 340
[28] David W. Shenk, Ilah-ilah Global, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 58-61
[29] Anton Wessels, Memandang Yesus, 74
[30] Ibid, 92
[31] Anton Wessels, Memandang Yesus, 86-87$
[32] David J. Hasselgrave dan Edward Rommen, Konstektualisasi: Makna, Metode, dan Model, 124
[33] Anton Wessels, Memandang Yesus, 104
[34] Rites de passage adalah adat peralihan mengenai empat tahapan yaitu kelahiran, penerimaan sebagai anggota penuh (sebagai orang dewasa), pernikahan dan kematian serta peralihan ke dunia leluhur sehingga seseorang dapat menjadi manusia yang sempurna yang dapat diterima dalam masyarakat Afrika.
[35] Ibid, 104
[36] Ibid, 105
[37] Ibid, 105-106
[38] Ibid, 107
[39] Pardomuan Munthe, Rekaman Catatan, (Medan: 07 Mei 2013)
[40] R. S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 1-2
[41] David J. Hasselgrave dan Edward Rommen, Konstektualisasi: Makna, Metode, dan Model, 60
[42] A. A. Yewagoe, Teologi Crusis Asia, (Jakarta: BPK-GM, 1996), 225
[43] Anton Wessels, Memandang Yesus, 135-137
[44] Kristologi Non Apologetis; dalam Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, 1
[45] Rudolf Pasaribu, Teologi Pembangunan Dalam Konteks Perkembangan Indonesia Masa Kini, (Medan: Pieter, 1988), 23
[46] Rudolf Pasaribu, Teologi Pembangunan Dalam Konteks Perkembangan Indonesia Masa Kini, 53-54 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar